I was cooking for a group of twenty people, which terrified me, because expectation was high! So I decided to go with a safe Swedish meatball with egg noodle pasta with mushroom-gravy sauce. Everything was homemade! that would never go wrong. But I was wrong, it is a simple dish, but you could screw up in so many places if you're not cautious. Anyhow, everyone seemed to have enjoyed it, at least if they were telling the truth. Below is the recipe as inspired by Laura Vitale's.
Thursday, October 13, 2016
Friday, September 9, 2016
Peas & Parmesan Gnocchi
I've been wanting to make a light and vibrant Italian dish. So here we go: Peas & Parmesan homemade Gnocchi! It was my first time making Gnocchi from scratch and it was surprisingly delicious. If there was anything I wanted to do better, it would be boiling the potatoes with the skin. Because when you start boiling the potatoes without the skin on, the water from the pot gets in the potatoes and it makes it more difficult to knead the potato dough.
Fresh Lemon Salmon with Sour Cream and Arugula
There was a semester of my college life when I made an oath of being fit and healthy. And so I hit the gym at least twice a week and most importantly, had the most healthy diet throughout the semester. I attempted (so hard) to limit my red meats and start eating fish. I was getting tedious of Tilapia (because that's often what they have in the store. What do you expect in the Midwest?). And so I hit Costco and bought a lot of Salmon. And I mean a lot of salmon. So I had to be creative everyday and create new Salmon dishes. It was the greatest semester of my life. Seriously.
Below is the recipe:
Below is the recipe:
Sunday, May 1, 2016
Not What My Hands Have Done
We all know at least the idea of being a good citizen, a good Christian, doing what is good, doing no slanders as what Paul mentioned in Titus 3:1-2. In fact, it is common sense, we all know that everyone wants everyone else to do good, to be peaceable and considerate, and always to be gentle toward everyone. Then why am I writing this blog post representing Christianity? Why not writing this post for some other religions that teach about good deeds as well?
The answer lies here: the motive and purpose behind doing what is good.
When I was little, I always thought that heaven is like a great scale where each person's name will be called, our good doings are measure on one side and our so-called sins on the other. If my goods doings are heavier than my sins, then I go on to live forever in heaven, this place people believe to be a paradise, where there is no more sorrow, no more tears. But, if my sins are heavier, I will also live forever in the room of torture, where you wish you could die but can never will.
Naturally, this is what we think of why we ought to do good. Our doings decide our rewards and punishments. In fact, this is what we experience is life: you study hard, you would get a rewarding grade, you work on your interview, you would most likely get the job. But in order to weigh ourselves, we must consider the definition of sin itself. Sinning means to miss the holy target. Holiness is pure, blameless, no compromises, disgusted by anything that is associated with the unclean. This would mean, no thinking about what to do next after worship, no perverted thoughts, none of these. And truly, none of us is free from sins. In fact, the ten commandments are not written so that each of us could fulfill them, God knows well that "all have sinned and fall short of the glory of God (Romans 3:23)". The commandments were made so that we are aware of how incapable we are to achieve perfection and how much we need a greater power outside of us to shield us from the condemnation on the day of God's wrath
The answer lies here: the motive and purpose behind doing what is good.
When I was little, I always thought that heaven is like a great scale where each person's name will be called, our good doings are measure on one side and our so-called sins on the other. If my goods doings are heavier than my sins, then I go on to live forever in heaven, this place people believe to be a paradise, where there is no more sorrow, no more tears. But, if my sins are heavier, I will also live forever in the room of torture, where you wish you could die but can never will.
Naturally, this is what we think of why we ought to do good. Our doings decide our rewards and punishments. In fact, this is what we experience is life: you study hard, you would get a rewarding grade, you work on your interview, you would most likely get the job. But in order to weigh ourselves, we must consider the definition of sin itself. Sinning means to miss the holy target. Holiness is pure, blameless, no compromises, disgusted by anything that is associated with the unclean. This would mean, no thinking about what to do next after worship, no perverted thoughts, none of these. And truly, none of us is free from sins. In fact, the ten commandments are not written so that each of us could fulfill them, God knows well that "all have sinned and fall short of the glory of God (Romans 3:23)". The commandments were made so that we are aware of how incapable we are to achieve perfection and how much we need a greater power outside of us to shield us from the condemnation on the day of God's wrath
LGBT: Sebuah Gerakan Penularan
26 Januari 2016
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi
Mungkin ada yang heran bertanya, kenapa saya begitu keras terhadap perilaku Lesbianism, gay, bisexual and transexualism (LGBT).
Saya seakan penuh murka dan tak memberikan sedikitpun ruang toleransi bagi pengidapnya.
Mungkin saya perlu klarifikasi bahwa saya tidak sedang bicara tentang pelaku, orang dan oknum.
Terhadap oknum, orang dan pelaku LGBT, kita harus tetap mengutamakan kasih-sayang, berempati, merangkul dan meluruskan mereka. Dan saya juga tidak sedang bicara tentang sebuah perilaku personal dan partikular. Saya juga tak sedang bicara tentang sebuah gaya hidup menyimpang yang menjangkiti sekelompok orang.
Karena saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN!
Ya, saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN : ORGANIZED CRIME yang secara sistematis dan massif sedang menularkan sebuah penyakit! Sekali lagi, bagi saya ini bukan semata perilaku partikular, sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata sebuah gaya hidup, tapi sebuah harakah: Movement! Terlalu paranoidkah kesimpulan ini?
Saya telah mengumpulkan begitu banyak kesaksian di kampus-kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal kita yang dipenetrasi secara masif agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi darinya. Perilaku mereka sangat persis seperti sebuah sekte, kultus atau gerakan-gerakan eksklusif lainnya : fanatik, eksklusif, penetratif dan indoktrinatif.
Ya, ini telah berkembang menjadi sebuah sekte seksual.
Kenapa mereka perlu menjadi sebuah gerakan ?
Karena target mereka tak main-main: mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara legal. Dan untuk itu mereka membutuhkan beberapa prasyarat :
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi
Mungkin ada yang heran bertanya, kenapa saya begitu keras terhadap perilaku Lesbianism, gay, bisexual and transexualism (LGBT).
Saya seakan penuh murka dan tak memberikan sedikitpun ruang toleransi bagi pengidapnya.
Mungkin saya perlu klarifikasi bahwa saya tidak sedang bicara tentang pelaku, orang dan oknum.
Terhadap oknum, orang dan pelaku LGBT, kita harus tetap mengutamakan kasih-sayang, berempati, merangkul dan meluruskan mereka. Dan saya juga tidak sedang bicara tentang sebuah perilaku personal dan partikular. Saya juga tak sedang bicara tentang sebuah gaya hidup menyimpang yang menjangkiti sekelompok orang.
Karena saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN!
Ya, saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN : ORGANIZED CRIME yang secara sistematis dan massif sedang menularkan sebuah penyakit! Sekali lagi, bagi saya ini bukan semata perilaku partikular, sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata sebuah gaya hidup, tapi sebuah harakah: Movement! Terlalu paranoidkah kesimpulan ini?
Saya telah mengumpulkan begitu banyak kesaksian di kampus-kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal kita yang dipenetrasi secara masif agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi darinya. Perilaku mereka sangat persis seperti sebuah sekte, kultus atau gerakan-gerakan eksklusif lainnya : fanatik, eksklusif, penetratif dan indoktrinatif.
Ya, ini telah berkembang menjadi sebuah sekte seksual.
Kenapa mereka perlu menjadi sebuah gerakan ?
Karena target mereka tak main-main: mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara legal. Dan untuk itu mereka membutuhkan beberapa prasyarat :
Monday, April 4, 2016
Biblical Music - Musik Alkitabiah (Part 3)
Pada saat kita membicarakan biblical music kita tidak mungkin lepas dari satu topik besar, yaitu worship. Allah yang sejati menjadi subjek sekaligus objek penyembahan tertinggi dari umat pilihan-Nya, dan musik menjadi ekspresi dan elemen yang penting dalam ibadah tersebut. Banyak penulis Kristen sudah menulis tentang Music and Worshipkarena melihat kebahayaan yang terjadi dalam banyak gereja. Mereka menyebutnya “peperangan theologis,” untuk menyatakan keseriusan terhadap penyelewengan ini. Dalam bagian ketiga artikel ini akan dibahas kaitan antara musik dengan ibadah kita kepada Tuhan.
- Menyembah Tuhan dan membangun sesama
John Frame menyatakan dalam bukunya “Worship in Spirit and Truth” bahwa musik yang Alkitabiah harus memliki aspek vertikal dan horisontal. Secara vertikal berarti kita menyembah Tuhan dan secara horisontal membangun sesama (edify others).
Rasul Paulus menggunakan kata “membangun” berulang kali untuk mengingatkan jemaat Korintus (1 Kor. 14) untuk saling membangun sebagai kesatuan tubuh Kristus melalui kebebasan dan karunia yang mereka miliki. Demikian Roma 14, khususnya ayat 13, mencatat hal yang serupa, yaitu agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kedua bagian ini didasari prinsip yang penting, yaitu kasih (1 Kor. 13). Hal ini pun merupakan hukum yang dikatakan Tuhan Yesus di Mat. 22:37-39. Dalam kasih kita tidak mementingkan diri, kesenangan, dan cara kita sendiri. Justru salah satu bentuk ujian terhadap penyembahan yang benar adalah apakah itu didasari dan teruji oleh kasih yang sejati. Apakah kita sedang menyembah Tuhan dengan cara yang berkenan kepada-Nya?
Gereja harus membangun jemaatnya melalui pengajaran dan penggunaan musik yang baik sehingga jemaat bertumbuh dalam pengetahuan mereka tentang musik. Dengan demikian jemaat diperlengkapi dengan pengetahuan untuk menyembah Tuhan dengan benar dan pertumbuhan rohani juga terjadi karena musik-musik tersebut dibangun berdasarkan prinsip-prinsip firman Tuhan (Ef. 5:19, Kol. 3:16).
- Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini!
Rasul Paulus di Roma 12 menuliskan bahwa kehidupan kita yang sudah ditebus oleh darah Kristus yang mahal merupakan kehidupan yang harus terus diubahkan (be transformed) agar kita memiliki cara pandang (mindset of life) yang berbeda dengan dunia ini, sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya.
Demikian juga dalam Injil Matius, Alkitab menyatakan bahwa panggilan seorang Kristen yang sedang berjalan dalamRedemption menuju Consummation adalah menjadi garam dan terang dunia; artinya kita dipanggil untuk me-redeembaik manusia berdosa (mandat Injil) maupun seluruh aspek kehidupan manusia berdosa dalam dunia yang berdosa ini (mandat budaya), termasuk musik.
Di bawah ini akan dibahas dua contoh jenis musik yang tidak dapat kita pakai dalam ibadah:
Jazz
Ada tiga alasan yang akan dibahas dalam bagian ini. Pertama, jazz bukan musik gerejawi sejak awalnya, tetapi musik yang dimainkan di tempat-tempat dansa, parade, pernikahan, bahkan kematian. Kedua, musik jazz mempunyai ciri musik tanpa penyelesaian dan kepastian atau sebut saja musiknya menggantung. Hal ini tidak bersesuaian dengan iman Kristen di mana Kristus datang ke dunia, disalib justru untuk memberikan kepastian jalan keluar bagi manusia berdosa (Redemption) sehingga kita tidak terus berada dalam dosa dan hukuman yang kekal (Fall).
Dalam musik terdapat istilah leading note. Nada ke-7 (baca: si) dalam sebuah tangga nada disebut leading notekarena nada ke-7 tersebut harus dan akan menuju tonika yaitu nada ke-1 (baca: do).
1 2 3 4 5 6 7 (leading note) 1 (tonika)
(do) (re) (mi) (fa) (sol) (la) (si) (do)
Biblical Music - Musik Alkitabiah (Part 2)
Seseorang mengatakan kepada saya, “Mengapa mengerti musik yang Alkitabiah begitu rumit dan berat sedangkan saya hanyalah orang biasa yang hanya ingin menyembah Tuhan dengan sepenuh hati dengan pengertian?” Katahanya ingin menyembah Tuhan bukanlah sebuah perkara yang sederhana dalam Kekristenan. Menyembah Tuhan adalah panggilan utama dari Tuhan kepada setiap manusia sejak manusia diciptakan - bagaimana manusia berespon kepada Tuhan, beribadah kepada Tuhan menurut standar kesucian Allah yang sempurna, bukan sesuai keinginan dan kenyamanan kita. Menyembah Tuhan bukanlah perkara yang kecil dan remeh tetapi memiliki keseriusan karena setiap manusia secara pribadi berhadapan dengan Sang Pencipta kita. Tuhan memberikan Alkitab untuk menuntun kita dan memberikan pengertian agar kita tidak berdosa saat kita menyembah dia. Dengan segala kerendahan hati dan keinginan menyembah Tuhan yang juga digerakkan oleh Dia, kita harus berani menempuh kesulitan dan mempelajari segala bidang yang Tuhan bukakan bagi kita supaya seluruh hidup kita boleh menyembah Dia dalam Roh dan kebenaran.
Dalam edisi ini kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang Biblical music poin ke-4 sampai ke-6:
- Music as Sounding Theology
Wednesday, March 23, 2016
Biblical Music - Musik Alkitabiah (Part 1)
Musik adalah karunia Allah bagi manusia sehingga musik tidak pernah terpisah dari kehidupan manusia. Di mana ada kehidupan di sana ada musik. Musik merupakan everydayness. Jika ada orang yang menamakan dirinya “music-hater”, bagi saya dia bagaikan orang yang tidak suka nasi atau air putih. Tuhan memberikan musik dalam kehidupan manusia dan manusia boleh menikmatinya dalam seluruh hidupnya. Luther berkata, “Musik adalah anugerah terbesar setelah Alkitab.”
Karena setiap manusia bersinggungan dengan musik, jenis musik sendiri sangat beragam. Manusia menyatakan cintanya kepada Tuhan dan sesama lewat musik. Manusia menyatakan dukacita dan sukacita juga lewat musik. Bahkan untuk berperang pun ada musiknya sendiri. Musik berbicara banyak tentang kehidupan.
Tidak dapat disangkali bahwa ada musik-musik yang berbobot, tetapi juga ada musik yang dangkal. Ada musik-musik yang begitu kompleks, tetapi ada juga yang sederhana. Ada musik yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga diperlukan ketekunan untuk bisa memainkan atau menyanyikannya, tetapi juga banyak musik-musik yang mudah dihafal dan sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Ada musik yang baik, ada musik yang buruk. Musik memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan seorang manusia. Seseorang yang terus-menerus mendengarkan musik bernuasa cengeng akan menjadi seorang yang lemah dalam hidup, sulit berjuang, karena terus dibuai sehingga mental demikianlah yang terbentuk. Orang yang terus mendengar musik yang keras biasanya menjadi seorang yang keras dan ada kecenderungan pemberontak. Karena itu kita harus berhati-hati dan mengetahui musik seperti apa yang kita konsumsi.
Akan tetapi salah satu kesulitan membicarakan musik adalah karena orang-orang umumnya hanya mengerti musik di kulitnya saja, sehingga ketajaman mereka untuk membedakan kualitas tidak ada dan seringkali mereka puas terhadap apa yang mereka suka dengan alasan: “Yang penting enak atau bisa dipakai, tidak sulit, mudah, tidak eksklusif, lebih merakyat, lagi nge-trend, saya suka dan enjoy!” Mereka ingin musik yang instan, mudah dikonsumsi, dan semua pusat penilaiannya adalah SAYA.
Kita bisa mengamati bahwa biasanya orang menyukai musik yang mereka ketahui, dan cenderung tidak suka musik yang tidak mereka ketahui, asing, atau tidak mereka kuasai. Ini karena mereka tidak bisa mencapai, menikmati, dan menyanyikannya. Istilah gampangnya, level-nya tidak sama. I know what I like, I like what I know—dan apa yang saya suka mempengaruhi hidup saya. Sayangnya, justru orang yang hanya tahu sedikit tentang musik yang paling sulit berubah dan diajak berdiskusi tentang musik. Seharusnya kesukaan kita terhadap sesuatu jangan membatasi kita untuk belajar, karena dari mana kita tahu apa yang kita sukai itu benar?
Sunday, March 6, 2016
Cauliflower Casserole
This particular casserole recipe is from Tip Hero, but I improvised it a little. I have been trying to be healthier by eating more vegetables and less meat. And this Cauliflower Casserole is perfect, because it is vegetarian (except for the eggs). I put the recipe down below:
Broccoli Celery Potato Purée
My ultimate most favorite comfort food. And yes, my comfort food is actually vegetarian (I know, I can hardly believe myself too). But this particular recipe is to die for. Trust me, broccoli could be your new best friend if you treat it right and with the respect it deserves. Looks fancy, but does not need a lot of effort to replicate. The original recipe is with broccoli, celery, and potato, but I improvised with pumpkin and squash as well by merely substituting the broccoli and celery with pumpkin and squash. The delicious orange-color purée below is the pumpkin-squash purée. Perfect for a chilly autumn day.
Below is the recipe:
Friday, February 5, 2016
Belle Mushroom - Leek Risotto
Leek is one of my favorite greens to work with. Its tangy, yet soft mouth-feel is always the star of any dishes. I made a creamy risotto dish with belle mushroom and leek. The mushroom gives the dish an earthy flavor, and so Shiitake mushroom is a substitute. The leek elevates the fragrance and gives the dish a scallion-like punch, finished with a soft, creamy sour cream or crème fraîche.
Below is the recipe:
Friday, January 22, 2016
Guinness Beer Chocolate Cake
The three-layer dessert right here definitely catches everyone's attention around the Thanksgiving table. Thanksgiving isn't always about turkeys, mashed potato, cranberry sauce and bean casserole! I started my thanksgiving day cooking with this beautiful Stout Chocolate Cake. The stout acts merely as an additional bittersweet taste to it as the alcohol evaporates during the process. It was my first attempt to bake it, but it turned out really moist and soft even though I did not set a bowl of water during the baking process. I got this recipe from ouichefnetwork.com. Although this one does not appear to be as sturdy as the ouichefnetwork cake, I'm pretty satisfied with this one.
For the cake:
- 2 cups stout (such as Guinness)
- 2 cups (4 sticks) unsalted butter
- 1 1/2 cups unsweetened cocoa powder (preferably Dutch-process)
- 4 cups all purpose flour
- 4 cups sugar
- 1 tablespoon baking soda
- 1 1/2 teaspoons salt
- 4 large eggs
- 1 1/3 cups sour cream
- 2 cups whipping cream
- 1 pound bittersweet (not unsweetened) or semisweet chocolate, chopped
- Heat oven to 350°F. Butter three 8-inch round cake pans with 2-inch-high sides. Line with parchment paper. Butter paper.
- Bring 2 cups stout and 2 cups butter to simmer in heavy large saucepan over medium heat. Add cocoa powder and whisk until mixture is smooth. Cool slightly.
- Whisk flour, sugar, baking soda, and 1 1/2 teaspoons salt in large bowl to blend. Using electric mixer, beat eggs and sour cream in another large bowl to blend. Add stout-chocolate mixture to egg mixture and beat just to combine. Add flour mixture and beat briefly on slow speed. Using rubber spatula, fold batter until completely combined. Divide batter equally among prepared pans.
- Bake cakes until tester inserted into center of cakes comes out clean, about 35 minutes. Transfer cakes to rack; cool 10 minutes. Turn cakes out onto rack and cool completely.
- Bring cream to simmer in heavy medium saucepan. Remove from heat. Add chopped chocolate and whisk until melted and smooth. Refrigerate until icing is spreadable, stirring frequently, about 2 hours.
- Place 1 cake layer on plate. Spread 2/3 cup icing over. Top with second cake layer. Spread 2/3 cup icing over. Top with third cake layer. Spread remaining icing over top of cake.
- Bring cream to simmer in heavy medium saucepan. Remove from heat. Add chopped chocolate and whisk until melted and smooth. Refrigerate until icing is spreadable, stirring frequently, about 2 hours.
- Place 1 cake layer on plate. Spread 2/3 cup icing over. Top with second cake layer. Spread 2/3 cup icing over. Top with third cake layer. Spread remaining icing over top of cake.
Subscribe to:
Posts (Atom)