Seseorang mengatakan kepada saya, “Mengapa mengerti musik yang Alkitabiah begitu rumit dan berat sedangkan saya hanyalah orang biasa yang hanya ingin menyembah Tuhan dengan sepenuh hati dengan pengertian?” Katahanya ingin menyembah Tuhan bukanlah sebuah perkara yang sederhana dalam Kekristenan. Menyembah Tuhan adalah panggilan utama dari Tuhan kepada setiap manusia sejak manusia diciptakan - bagaimana manusia berespon kepada Tuhan, beribadah kepada Tuhan menurut standar kesucian Allah yang sempurna, bukan sesuai keinginan dan kenyamanan kita. Menyembah Tuhan bukanlah perkara yang kecil dan remeh tetapi memiliki keseriusan karena setiap manusia secara pribadi berhadapan dengan Sang Pencipta kita. Tuhan memberikan Alkitab untuk menuntun kita dan memberikan pengertian agar kita tidak berdosa saat kita menyembah dia. Dengan segala kerendahan hati dan keinginan menyembah Tuhan yang juga digerakkan oleh Dia, kita harus berani menempuh kesulitan dan mempelajari segala bidang yang Tuhan bukakan bagi kita supaya seluruh hidup kita boleh menyembah Dia dalam Roh dan kebenaran.
Dalam edisi ini kita akan melanjutkan pembahasan kita tentang Biblical music poin ke-4 sampai ke-6:
- Music as Sounding Theology
Musik memiliki dua pengertian yaitu secara sempit dan secara luas. Secara sempit dan sederhana, musik didefinisikan memiliki melody, harmony dan rhythm.[1] Sedangkan secara luas, musik berkaitan erat dengan perkataan manusia. Kita menyebutnya sebagai bahasa. Alkitab mengajarkan bahwa umat Allah tidak hanya membicarakan dan memberitakan firman Tuhan saja, tetapi juga menyanyikan firman Tuhan (1Taw. 16:9, Mz. 33:2-3, Kol. 3:16). Musik sangat dekat dengan kata-kata yang diucapkan. Perkataan manusia memiliki semacam musik yang naturalterkandung di dalamnya - intonasi, rhythm, pitch, timbre - dan sangat berkait erat dengan firman Tuhan di mana Tuhan menyampaikan Firman-Nya dalam kata-kata. Luther memiliki sebuah konsep berkaitan dengan hal ini yang dinamakanVerbum Vocal di mana perkataan Tuhan yang berotoritas dikaitkan dengan suara manusia, menjadi verbum theologyatau sounding theology, yaitu kata-kata yang dibicarakan secara theologi, demikian dikaitkan dengan musik dan yang diakomodasikan adalah suara Tuhan.
Kitab Mazmur adalah puisi yang dinyanyikan, firman Tuhan dalam bentuk musik atau pujian. Mazmur adalah salah satu kitab yang paling disukai oleh Luther karena baginya kitab Mazmur merupakan kitab yang paling jujur, yang bukan saja berisi perkataan tetapi berasal dari hati para pemazmur, yang sesungguhnya bagaikan harta dari jiwa yang dibentangkan. Pemazmur tersebut membicarakan kesejatian iman dalam seluruh segi kehidupan mereka, bukan hanya ketika mereka diberkati oleh kebaikan Tuhan, tetapi ketika mereka mengalami badai dalam hidup mereka. Dalam pergumulan, iman mereka yang sesungguhnya menjadi nyata. Kehidupan mereka transparan di hadapan Tuhan.
Ada sebuah istilah yang saya dapatkan dalam kuliah untuk menggambarkan hal ini, yaitu struggle school of affection.Istilah ini ingin menyatakan bahwa kehidupan seorang Kristen dalam pengenalan akan Tuhan adalah sebuah sekolah. Artinya kita terus belajar dalam pergumulan kita untuk memiliki suatu afeksi[2] yang benar sesuai dengan prinsip firman Tuhan, dan melalui pasal-pasal dalam Mazmur ini, pemazmur menyatakan pergumulan itu kepada Tuhan. Ini merupakan suatu pertempuran afeksi antara diri kita yang berdosa, penuh dengan pergumulan dengan pribadi Tuhan.
Kitab Mazmur merupakan theologi yang digarap dalam bentuk musik. Calvin bahkan mengatakan bahwa Mazmur adalah perkataan Tuhan sendiri. Musik-musik yang memiliki teks yang diambil dari Mazmur akan menjadi sounding theology yang menguduskan dan mentransformasi hidup kita. Teks yang diambil dari Mazmur memiliki bobot, kekentalan, kebenaran firman Tuhan sekaligus keindahan bentuk puisi. Musik tersebut akan menjadi indah oleh karena teksnya. Hal ini tidak dapat dibalik dengan mengatakan bahwa jika teksnya diambil dari kitab Mazmur maka musik tersebut pastilah indah. Seperti yang sudah dituliskan dalam artikel bulan lalu dalam poin ke-2, pengujian terhadap sebuah musik yang Alkitabiah haruslah pengujian secara integral. Tentu saja teks yang benar harus diimbangi dengan musik yang benar.
Mengutip dari buku “Karunia Musik” berkenaan dengan kitab Mazmur:
“Buku yang paling indah dari semua buku himne ini sangat disayangi umat Allah di sepanjang zaman. Kitab Mazmur menjadi satu-satunya sumber yang paling produktif untuk teks bagi komposisi musik di dunia musik Barat. Menyanyikan Mazmur merupakan aktivitas musik dari gereja yang paling awal dicatat, barangkali sebagai respon atas nasihat Rasul Paulus supaya kita “penuh dengan Roh, dan berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef. 5:18-19). Kitab Mazmur menjadi tulang punggung musik rohani.”
Jika kita memperhatikan musik atau pujian yang dipakai gereja kebanyakan hari ini, memang banyak sekali teks yang diambil dari kitab Mazmur, yang khususnya membicarakan beberapa tema besar seperti kebaikan, kesetiaan Allah, kasih Allah, dan sorak-sorai. Tema lainnya yang cukup sering yaitu tentang keperkasaan dan kedahsyatan Allah.
Ada dua hal yang ingin saya soroti di sini. Pertama, kitab Mazmur memiliki begitu banyak tema yang tentu dapat digarap dalam bentuk musik yang dapat dinyanyikan oleh seorang Kristen. Kitab Mazmur tidak hanya berbicara tentang kasih Allah melulu tetapi juga berbicara tentang Allah sebagai Hakim yang adil, kesucian Allah, murka Allah, Taurat Tuhan yang sempurna dan menyegarkan jiwa, Allah sebagai sumber pengharapan, Allah Perisai dan Perlindungan, Allah Batu Karang, dan sebagainya. Di sini kita melihat kelimpahan pribadi Allah.
Sangat disayangkan jika kita sebagai orang Kristen, yang seharusnya dapat mengenal Allah dengan begitu limpah melalui firman Tuhan, khususnya dalam hal ini kitab Mazmur, hanya menggarap dan menggunakan musik atau pujian kepada Tuhan dalam aspek tertentu saja. Kita dapat menguji seberapa limpah pujian kita kepada Tuhan melalui kategori lagu-lagu yang kita nyanyikan. Jika kita memiliki dua puluh lagu untuk melukiskan pribadi Allah, lalu ternyata hampir semuanya membicarakan satu atau dua karakter Allah saja, sebenarnya kita belum menggarap pujian bagi Tuhan seperti apa yang sudah Tuhan nyatakan dalam Alkitab, dalam hal ini kitab Mazmur.
Hal kedua yang saya ingin soroti adalah berkaitan dengan pemenggalan ayat dalam kitab Mazmur yang dipakai untuk teks sebuah lagu. Misalnya Mazmur 106:1, “Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.” Kalimat ini sering dipakai dalam lagu, biasanya menjadi bagian refrain. Ayat ini sangat indah, tetapi saat ditulis dalam bentuk lagu akhirnya menjadi kalimat yang reduktif, dalam arti orang yang menyanyi maupun yang membuat lagu hanya mengenal ayat kesatu saja, tetapi tidak melihat keseluruhan pergumulan dari sang pemazmur, mengapa kalimat tersebut muncul. Pergumulan sang pemazmur dalam ayat-ayat selanjutnya tidak diambil untuk menjadi teks yang menyeluruh. Dalam Mazmur 106 hal ini sangat penting untuk menghindarkan pengenalan kita kepada Allah yang dangkal atau pengenalan yang konklusif tanpa adanya suatu proses pengenalan, pergumulan, yang bersifat afeksi, sehingga kalimat konklusif tersebut bukan menjadi suatu pernyataan iman melainkan hanya kata-kata belaka, yang menghasilkan pengetahuan yang parsial tentang iman Kristen.
Bagi Luther, firman Tuhan memberikan penghiburan atau kesembuhan jiwa secara inner comfort dalam theologi danouter comfort dalam musik. Ketika keduanya digabung, maka terjadi true spiritual comfort. Musik yang gagal adalah musik yang tidak mendapatkan inner comfortnya.
- Menyatakan iman yang sejati
Alkitab mencatat beberapa prinsip mengapa seseorang menyanyikan pujian dan memainkan musik kepada Allah: ketika mereka melihat perbuatan Allah (Mz. 150, Mz. 148, peristiwa Laut Teberau, Miriam menyanyi dengan rebana), kasih Allah (Mz. 136), kekaguman akan Allah (Rm. 11:33-36), kerinduan kepada Allah (Mz. 42), penggenapan janji Allah (Maria menyanyikan Magnificat—Lk. 1:46-55, Zakharia menyanyikan pujian atas penggenapan janji Allah akan lahirnya Juruselamat—Lk. 1:67-76, nyanyian para malaikat atas kelahiran Juruselamat—Lk. 2:14), dalam peperangan (peristiwa Yerikho—Yos. 6, Mz. 149), dalam pergumulan dan mencari pertolongan (Mazmur banyak mencatat hal ini, seperti Mz. 146, Mz. 121, Mz. 73), bahkan ketika Tuhan Yesus menyanyikan hymn pada saat-saat terakhir sebelum kematian-Nya. Di sini pujian menjadi satu respon yang natural yang diberikan kepada Tuhan.
Agustinus mendefinisikan hymn sebagai “pujian yang berisi, mengandung pujian dari Tuhan. Jika Engkau memuji Tuhan tanpa lagu, Engkau tidak memiliki hymn. Jika Engkau memuji apa saja tetapi tidak ada hubungan dengan kemuliaan Tuhan, bahkan jika Engkau menyanyikannya sekalipun, Engkau tidak memiliki hymn. Karena hymnmemiliki tiga elemen: lagu (song) dan pujian (praise) kepada Tuhan (God).” Demikian Wahyu 19:6-7 mencatat, “… Halleluya! Karena Tuhan Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia ….”
Definisi yang lain tentang hymn yaitu “pengakuan iman yang dinyanyikan kepada Tuhan karena manusia disukakan oleh perbuatan/anugerah Tuhan yaitu dalam keselamatan.”
Musik dari kekristenan sendiri berkembang setelah kebangkitan Kristus, membicarakan tentang salib, kemenangan, kebangkitan, dan hal ini merupakan inti iman Kristen. Keselamatan dan pujian menjadi satu paket. Maka musik muncul sebagai satu ekspresi kebangunan rohani (1Taw. 16:2; 2Taw. 15, 23, 29, 35). Keselamatan dari Tuhan menyucikan bibir dan membuka mulut kita untuk menyanyi (Mz. 51:14-15; 12; Yes. 6; Zef. 3:9-12; Ibr. 13:15).
Mengapa semuanya ini dinyatakan melalui musik? Selain Tuhan sendiri memerintahkan kita untuk memuji Dia dalam pengertian musik secara sempit yaitu membuat musik, alasan yang lain adalah karena melalui musik, perkataan Tuhan menjadi mudah untuk diingat, sekali lagi menjadi sounding theology sekaligus, yang tidak kalah penting, menyatakan kesejatian iman kita. Saat kita menyanyi memuji Tuhan, kita memproklamasikan kepada dunia tentang iman kita dalam Tuhan Yesus Kristus sebagai suatu kepastian dan sukacita. Hal ini membuat kekristenan menjadi agama yang sangat berkait erat dengan musik.
Prinsip ini turun kepada orang-orang Kristen yang menciptakan musik bagi Tuhan sehingga saat mereka membuat lagu tidak sembarangan jadi lagu. Seringkali orang-orang mengatakan bahwa spontanitas adalah hal yang baik, dianggap sebagai kreatifitas, bahkan gerakan Roh Kudus ataupun puncak kecemerlangan. Mungkin saja ini sesekali terjadi. Tetapi ketekunan, pembelajaran, perenungan, serta pengertian akan Firman dan musik adalah hal yang sangat penting untuk menolong kita berkreasi dalam menggubah sebuah lagu. Tidak mungkin seorang yang tidak pernah merenungkan, menggumulkan imannya dalam kebenaran firman Tuhan dapat menuliskan teks yang begitu kental tentang iman Kristen. Jika kita secara khusus melihat lagu-lagu hymn, setiap kalimat dalam baitnya mengandung kekentalan pengajaran dan intisari iman Kristen. Para penulis lagu didorong oleh kecintaan mereka kepada Tuhan oleh karena Tuhan terlebih dahulu mencintai mereka dengan memberikan hidup-Nya.
Pada zaman Bapa-bapa Gereja, muncul bidat-bidat khususnya dalam doktrin Tritunggal dan Kristologi, dan pada zaman itu di Gereja muncul lagu-lagu bidat. Di sini kita melihat bahwa teks sebuah lagu tidak dapat lepas dari pengertian mereka terhadap Firman, atau lebih jelas saya menggunakan istilah doktrin. Akibatnya teks lagu yang ada pada saat itu menjadi sangat kritis karena menentukan iman mereka, dan di sinilah gereja berperang dengan bidat-bidat tersebut. Teks lagu yang ada harus begitu ketat dan kental karena di sanalah iman mereka dipertaruhkan.
Sementara hari ini, keketatan sedemikian dalam iman Kristen tidak lagi dipertahankan. Kita menjumpai tidak sedikit lagu-lagu yang memiliki teks begitu ringan, kalimat-kalimat dan kosakata yang digunakan begitu mirip dengan bahasa dunia ini, sehingga menjadi rancu. Kerancuan muncul seperti zaman Bapa-bapa Gereja juga tetapi kali ini Gereja tidak bisa dibedakan dengan dunia. Teks lagu yang saya pernah baca, saya tidak ingat persis, berbunyi demikian, “Yo, mari semua, daripada bengong, pusing-pusing, lebih baik nyanyi buat Tuhan!” Teks yang begitu ringan dan menggunakan bahasa demikian menghilangkan kesakralan dari lagu tersebut dan keseriusan dalam memuji, datang kepada Tuhan.
Atau, teks yang ada hanya membicarakan kasih Allah: “Allah itu baik,” “kasih-Nya tidak berkesudahan,” “Ia selalu mengampuni kesalahan kita,” “Ia menopang, mengangkat bila kita jatuh,” “Dialah Bapa kita,” “Pemelihara,” “Mencukupkan,” “Menyembuhkan,” “Mendengar Doaku,” “Memberkatiku berkelimpahan,” “Ia memelukku,” “Ia menggendongku,” dan sebagainya. Semua pujian adalah berkat Allah kepada kita. Siapa yang tidak senang menjadi orang Kristen?
Di manakah tanggung jawab kita sebagai orang Kristen yang menyatakan iman yang sejati? Di manakah tema-tema “Pikul Salib,” “Taat kehendak-Nya,” “Buah-buah Roh,” “Pengakuan dosa,” “Hidup berkorban,” “Berperang bagi Kerajaan Allah,” “Mempersembahkan diri, harta, tenaga,” “Waktu dan Talenta bagi Tuhan,” “Murka Allah,” “Kristus satu-satu-Nya jalan,” “Penderitaan Kristus,” “Kebangkitan Kritus,” “Iman,” “Pengharapan,” “Dukacita,” dan sebagainya?
Terlalu sedikit sebenarnya pujian yang sungguh-sungguh menyatakan iman Kristen yang sejati kepada dunia ini. Jika seseorang bertobat oleh karena musik yang mereka dengar, apakah mereka siap menjadi seorang Kristen seperti yang dituntut Alkitab? Apakah musik kita menunjukkan kehidupan Kristen yang sesungguhnya?
- Memiliki bobot dan dignitas
Calvin mengatakan bahwa menyanyi tidak boleh superficial tetapi harus dengan bobot dan dignitas. Saya percaya bobot dan dignitas bukan hanya persoalan menyanyi secara sempit saja, tetapi bicara seluruh kehidupan yang dituntut oleh Tuhan, agar kita memiliki kehidupan yang berbobot dan memiliki dignitas, termasuk dalam bidang musik. Rasul Paulus mengatakan, “Aku tahu siapa yang kupercaya.” Di sini Paulus menuntut kehidupan Kristen yang berbobot, memiliki kedalaman, pengenalan akan Tuhan yang dipercayainya. Lalu perkataan Tuhan Yesus, “Sangkal diri, pikul salib, ikut Aku,” dan perkataan Paulus, “Semua kuanggap sampah oleh karena pengenalanku akan Kristus,” di sini bicara tentang dignitas. Nilai kehormatan kita ditaruh di dalam Kristus. Sebuah buku yang ditulis oleh Richard L. Pratt berjudul “Designed for Dignity” menyatakan bahwa Allah memanggil dan merancang kita untuk kemuliaan-Nya.
Di sini saya melihat berarti tidak semua musik dapat dipersembahkan kepada Allah jikalau kita benar-benar sadar harus memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Kita perlu mengingatkan diri kita selalu saat kita hendak memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Harus ada proses pembelajaran dan keberanian untuk berubah ke arah yang lebih baik karena kita semua sedang terus bertumbuh untuk menjadi serupa dengan Kristus. Kata “menjadi” berarti kita tidak sedang berada dalam satu titik, tetapi terus-menerus berubah dan perubahan itu akan terus terjadi sampai kita mati. Yang menjadi masalah ketika segala sesuatu berubah, perubahan tersebut berubah ke arah mana? Ke arah yang semakin baik atau semakin buruk?
Kembali kepada konsep Calvin tentang bobot dan dignitas. Jika Tuhan menuntut bobot dan dignitas berarti yang tidak berbobot dan tidak memiliki dignitas tidak boleh dipersembahkan kepada Tuhan. Hal ini menjadi lawan kata daripopular culture yang dengan jelas membicarakan tentang kedangkalan. Pop culture ini sengaja menghindari kedalaman tetapi mengutamakan kemudahan dan penerimaan dari masyarakat. Jangkauan dari pop culture adalah massa secara kuantitatif. Maka secara otomatis kualitas akan berkurang. Karena jika kita menghilangkan kedalaman/kualitas, proses pembelajaran akan berkurang sebab sangat mudah diterima karena easy listening. Gereja-gereja sekarang begitu banyak yang hanya menggunakan lagu-lagu pop dalam gerejanya dan mereka sendiri akhirnya memiliki suatu persepsi anti terhadap musik-musik yang memiliki kualitas lebih tinggi; mereka menyebutnya sebagaihigh culture atau elite. Akibatnya, musik-musik yang berkualitas dikeluarkan dan tidak ada lagi di gereja tetapi berada di gedung konser dan dipakai oleh orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. Mereka menikmati keindahan dan kedalaman anugerah Tuhan, sedangkan kita yang diberikan Tuhan, yang ditebus mahal oleh darah-Nya, menyia-nyiakan dan menganggap musik-musik demikian susah, sulit, dan tidak bisa menjangkau orang-orang datang kepada Tuhan.
Ngomong-ngomong tentang menjangkau orang kepada Kristus, apakah musik harus dikompromikan demi alasan menjangkau orang datang ke gereja kepada Kristus? Di sini musik menjadi satu entertainment yang memuaskan kesenangan bagi manusia yang berdosa tersebut. Saat mereka percaya kepada Tuhan mereka tidak merasa ada suatu perubahan, karena musik yang dipakai di gereja toh sama saja dengan kehidupan mereka yang lama, yang mereka pakai di dunia. Lalu apa bedanya musik dunia dengan musik Kristen? Hanya karena ada kata Yesus? Saya melihat sekarang pun banyak lagu-lagu yang katanya lagu Kristen, dipakai beribadah, tetapi tidak ada lagi inti iman Kristen, apalagi kata Yesus. “Mengapakah kita harus menggunakan budaya mereka untuk membawa mereka datang kepada Kristus?” demikian Pdt. Billy Kristanto pernah mengatakan dalam sebuah kelas. Beliau mengatakan, “Menginjili orang melalui musik dengan pendekatan dan mencintai apa yang ada pada dia? Kebudayaan bukan yang ada pada dia! Kita justru harus menghancurkan apa yang ada pada dia dan membangun kembali sesuatu yang baru berdasarkan Alkitab.” Kita harus membalik pemikiran yang salah tentang penginjilan. Manusia bertobat dan percaya kepada Tuhan adalah berdasarkan iman yang timbul dari pendengaran akan firman Tuhan. Musik hanya menjadi salah satu alat dalam penginjilan. Yang terutama adalah firman Tuhan. Maka kita tidak perlu mengkompromikan musik hanya agar mudah menjangkau mereka. Jikalau mereka bertobat karena musiknya sama dan mudah diterima oleh mereka, jangan-jangan mereka bertobat tanpa mengerti mengapa mereka menjadi Kristen, tidak mengerti arti penebusan Kristus dan apa arti hidup dan percaya Kristus. Jika seperti ini jadinya, rusaklah kekristenan.
Saya pernah membaca sebuah buku, di situ diceritakan ada seseorang yang sebelumnya terlibat semacam okultisme. Singkat kata orang tersebut bertobat dan datang ke gereja. Saat dia datang ke gereja dia menjadi sangat kaget dan tidak bisa beribadah dalam gereja karena musik yang dipakai di gereja sama dengan musik yang dipakai sebelumnya, sehingga seluruh pengalaman dia menjadi flash back.
Suatu kali saya dan teman-teman baru pulang latihan paduan suara. Kami satu mobil kurang lebih lima orang. Saat itu kami sedang mendengarkan salah satu saluran radio yang sedang memutarkan musik bergaya romantic, lagu-lagu cinta seperti itu. Awalnya kami tidak tahu lagu apa itu, tiba-tiba teman saya nyeletuk, “Ih, seperti lagu gereja yah, ini lagu apa sih, judulnya apa?” Lalu disanggah oleh teman saya yang lain, “Musik ini yang seperti gereja atau gereja yang seperti ini? Siapa seperti siapa? Siapa ikut siapa?” Lalu kami jadi sadar dan sama-sama tertawa sedih.
Seorang guru sejarah musik pernah bercerita tentang pengalamannya. Ia pernah diminta untuk membuat lagu-lagu Kristen yang dapat dipasarkan. Orang tersebut mengatakan kepada guru saya, “Bu, tolong buatkan lagu rohani supaya saya bisa menjual untuk orang-orang Kristen, apa saja, yang penting laku untuk dijual.” Tentu saja sang guru menolaknya. Itu sangat mengerikan. Musik yang harusnya dikembalikan kepada Tuhan, dan seharusnya keluar dari hati yang mengenal Tuhan, sekarang dijadikan komersil dan ironisnya orang-orang Kristen membeli semua lagu rohani yang katanya sekarang lagi nge-trend, new release, dan jika saya tidak mengetahuinya maka saya dan gereja saya akan ketinggalan zaman. Kenaifan orang Kristen dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin mencari keuntungan di dunia musik dan orang Kristen tidak tahu, mereka menjadi polos di tempat yang salah.
Di manakah bobot dan dignitas dari kekristenan, dari gereja yang seharusnya menjadi penuntun, menjadi teladan, menjadi terang dan garam bagi dunia ini? Gereja kehilangan power untuk menarik orang kepada Kristus dan akhirnya menggunakan berbagai macam daya tarik dunia yang diakomodasi dalam kekristenan. Mengapa? “Simply karena tidak meninggikan Kristus,” demikian Pdt. Billy Kristanto menjawab. Kita harus ingat bahwa konsep Kerajaan Allah, gereja yang sejati sepanjang zaman, tidak akan pernah populer tetapi ia terus ada sepanjang zaman, menyuarakan kebenaran dan mengganggu. Siapakah yang mau ikut jalan sempit ini - tidak dikenal, tidak populer, tetapi boleh berada di jantung hati Tuhan?
Apakah yang sebenarnya hendak kita nyatakan melalui musik ketika kita mengetahui bahwa musik sendiri memiliki peranan yang penting dalam Kekristenan? Jika kita diberi kesempatan untuk mengetahui dan mempelajari kebenaran Tuhan dalam aspek musik maka kita harus memikirkan peranan dan tanggung jawab kita dalam penggarapan musik gereja yang baik, yang seharusnya dipakai oleh gereja untuk menyembah Tuhan. Kiranya edisi demi edisi boleh semakin membuka wawasan dan menggerakan hati kita untuk melayani Dia dengan kebenaran firman Tuhan.
Stanly Maria Iskandar
Mahasiswi Institut Reformed Jakarta
Fakultas Musik Gerejawi
[1] Masih ada aspek lain seperti tempo, dinamika, dan sebagainya. Ketiga hal di atas hanya dasar sesuatu dapat disebut musik.
[2] Afeksi adalah sebuah perasaan yang begitu mendalam dan penuh dengan keseriusan, bukan hanya sekedar emosi sementara atau permukaan. Misalnya, perasaan sedih karena tidak bisa makan es krim tentu berlainan dengan kesedihan atau dukacita ketika orang tua kita meninggal.
No comments:
Post a Comment