Wednesday, March 23, 2016

Biblical Music - Musik Alkitabiah (Part 1)

Musik adalah karunia Allah bagi manusia sehingga musik tidak pernah terpisah dari kehidupan manusia. Di mana ada kehidupan di sana ada musik. Musik merupakan everydayness. Jika ada orang yang menamakan dirinya “music-hater”, bagi saya dia bagaikan orang yang tidak suka nasi atau air putih. Tuhan memberikan musik dalam kehidupan manusia dan manusia boleh menikmatinya dalam seluruh hidupnya. Luther berkata, “Musik adalah anugerah terbesar setelah Alkitab.”
Karena setiap manusia bersinggungan dengan musik, jenis musik sendiri sangat beragam. Manusia menyatakan cintanya kepada Tuhan dan sesama lewat musik. Manusia menyatakan dukacita dan sukacita juga lewat musik. Bahkan untuk berperang pun ada musiknya sendiri. Musik berbicara banyak tentang kehidupan.
Tidak dapat disangkali bahwa ada musik-musik yang berbobot, tetapi juga ada musik yang dangkal. Ada musik-musik yang begitu kompleks, tetapi ada juga yang sederhana. Ada musik yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga diperlukan ketekunan untuk bisa memainkan atau menyanyikannya, tetapi juga banyak musik-musik yang mudah dihafal dan sering terdengar dalam kehidupan sehari-hari. Ada musik yang baik, ada musik yang buruk. Musik memiliki kekuatan yang dapat mempengaruhi kehidupan seorang manusia. Seseorang yang terus-menerus mendengarkan musik bernuasa cengeng akan menjadi seorang yang lemah dalam hidup, sulit berjuang, karena terus dibuai sehingga mental demikianlah yang terbentuk. Orang yang terus mendengar musik yang keras biasanya menjadi seorang yang keras dan ada kecenderungan pemberontak. Karena itu kita harus berhati-hati dan mengetahui musik seperti apa yang kita konsumsi.
Akan tetapi salah satu kesulitan membicarakan musik adalah karena orang-orang umumnya hanya mengerti musik di kulitnya saja, sehingga ketajaman mereka untuk membedakan kualitas tidak ada dan seringkali mereka puas terhadap apa yang mereka suka dengan alasan: “Yang penting enak atau bisa dipakai, tidak sulit, mudah, tidak eksklusif, lebih merakyat, lagi nge-trend, saya suka dan enjoy!” Mereka ingin musik yang instan, mudah dikonsumsi, dan semua pusat penilaiannya adalah SAYA.
Kita bisa mengamati bahwa biasanya orang menyukai musik yang mereka ketahui, dan cenderung tidak suka musik yang tidak mereka ketahui, asing, atau tidak mereka kuasai. Ini karena mereka tidak bisa mencapai, menikmati, dan menyanyikannya. Istilah gampangnya, level-nya tidak sama. I know what I like, I like what I know—dan apa yang saya suka mempengaruhi hidup saya. Sayangnya, justru orang yang hanya tahu sedikit tentang musik yang paling sulit berubah dan diajak berdiskusi tentang musik. Seharusnya kesukaan kita terhadap sesuatu jangan membatasi kita untuk belajar, karena dari mana kita tahu apa yang kita sukai itu benar?

Perdebatan tentang musik selalu menjadi topik yang relevan untuk dibicarakan, apalagi seiring dengan zaman yang terus berubah dan musik-musik yang semakin beragam. Menjadi tantangan bagi orang Kristen, sebagai Gereja di tengah-tengah dunia ini, sebagai wakil Tuhan, untuk menentukan manakah musik yang dapat dipakai dan tidak bisa dipakai untuk beribadah kepada Tuhan. 
Sebenarnya jawabannya hanya empat kata: “Teruji oleh firman Tuhan” atau “Lolos ujian firman Tuhan.” 1Tes. 5:21 mengatakan, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Mudah bukan? Jika segala sesuatu sudah lolos ujian firman Tuhan lalu kita pegang yang baik, beres deh! Tapi kenyataannya tidak semudah itu! Ada banyak hal yang harus melengkapi kita dalam ujian Firman.[1] Bagaimana kita memiliki pengetahuan firman Tuhan yang benar dan dalam? Theologi seperti apakah yang dimiliki dalam mempelajari firman Tuhan? Ini menjadi pertanyaan yang sangat penting. Setelah itu, bagaimana mengaitkannya dengan seluruh aspek hidup kita? Kita memerlukan pengertian yang cukup dalam theologi, musik, filsafat, dan budaya. Jika kita hanya mengerti musik, filsafat, dan budaya tetapi tidak memiliki pengertian yang benar terhadap firman Tuhan, atau tidak dapat mengaitkan semua itu dengan prinsip firman Tuhan, kita tidak bisa memiliki standar nilai terhadap sebuah musik yang baik. Demikian sebaliknya, kita tidak bisa mendaratkan prinsip firman Tuhan dalam realita jika kita tidak mempelajari bidang-bidang yang lain.
Saya akan membahas biblical music dalam bentuk poin-poin agar mudah dimengerti. Poin-poin ini tidak dipatok mati, tetapi saya percaya masih dapat dikembangkan. Seluruh poin ini diharapkan boleh membuka pikiran kita dan menjadi dasar menilai musik yang Alkitabiah. Semua poin ini didasari oleh semangat yang tertulis dalam 1Tes. 5:21, “Teruji oleh firman Tuhan dan memegang apa yang baik.”
Sebelumnya, saya akan memberikan suatu pendahuluan yang menjadi kerangka untuk menilai musik yang Alkitabiah. Dalam Kej. 1 dikatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi serta isinya selama enam hari, dan Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik (ay. 31). Pada hari ke-7 Allah berhenti dan memberkati segala pekerjaan yang telah dibuat-Nya itu (Kej. 2:1-3). Dari seluruh ciptaan, manusia adalah ciptaan tertinggi karena diciptakan menurut peta teladan Allah, dan Allah memberikan mandat kepada manusia untuk memenuhi, menaklukkan, dan berkuasa atas bumi ini (Kej. 1:26-28). Bumi diciptakan, disediakan Allah untuk manusia, dan manusia yang diciptakan untuk hidup seutuhnya bagi Allah harus menjadi wakil Allah dalam dunia ini, melaksanakan mandat yang diberikan kepadanya agar semuanya itu boleh dipersembahkan kembali untuk memuliakan dan menikmati Allah selamanya. Hal ini dikaitkan dengan Roma 11:36 sebagai satu doxology: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!”[2]
Dalam mandat yang diberikan oleh Tuhan Allah terkandung tiga jabatan manusia, yaitu raja, nabi, dan imam. Sebagai raja, Allah memerintahkan manusia untuk memenuhi, menaklukkan, dan berkuasa atas bumi ini. Allah memberi tugas kepada Adam untuk mengusahakan dan memelihara taman Eden (Kej. 2:15). Sebagai nabi, manusia menjadi wadah kebenaran Allah dan menginterpretasikan alam ini sesuai dengan interpretasi Allah, sesuai dengan kehendak dan isi hati Allah. Adam, dengan hikmat yang diberikan Allah, melihat dan menginterpretasi, memberi nama kepada tiap makhluk yang hidup (Kej. 2:19). Fungsi imam merangkum semuanya, di mana manusia sebagai ciptaan beribadah kepada Allah Sang Pencipta dan mempersembahkan kembali hasil bumi kepada Allah sebagai korban persembahan (Kej. 4:3), sebagai doxology.
Alkitab sendiri tidak membicarakan musik secara teori, misalnya harus menggunakan tangga nada apa atau chordapa, tetapi Alkitab berbicara secara prinsip. Prinsip ini harus kita pegang sebagai standar menilai sebuah musik.
  1. What is good music? What is beauty?
Dalam proses penciptaan, Allah Sang Pencipta, Sang Pribadi Kebenaran memberikan penilaian kepada ciptaan-Nya, yaitu “BAIK.” Penilaian ini menjadi dasar segala sesuatu yang baik di hadapan Allah dan inilah “baik” yang sesungguhnya. Dalam dunia seni dan estetika, “baik” diterjemahkan sebagai indah (beautiful), dalam dunia medis sebagai sehat, dalam dunia perekonomian sebagai makmur, dalam dunia sains sebagai tepat dan benar, dalam filsafat seabgai bijaksana, dan sebagainya. Setiap bidang memiliki bahasanya masing-masing untuk berbicara tentang “baik.” Tetapi semua yang dikatakan baik itu haruslah dinilai di hadapan Allah.[3] Penilaian Allah adalah yang tertinggi dan terpenting. Alkitab mencatat: “Perempuan itu melihat, menginterpretasi bahwa buah pohon itu ‘baik’ untuk dimakan ….” Penilaian “baik” Hawa tidak sama dengan penilaian Allah (Kej. 2:16-17). Saat Kain dan Habel mempersembahkan korban kepada Tuhan, Kain kira dia layak, tetapi Tuhan menolaknya.  Penilaian Kain tidak berdasarkan apa yang dinilai Tuhan. Di sini kita mendapatkan prinsip yang sangat penting; pengertian “baik” adalah ketika ciptaan, baik manusia maupun alam semesta, berespon dengan tepat sesuai dengan perintah dan penilaian Tuhan. Bagaimana kita menilai musik haruslah berdasarkan definisi Tuhan. Ibrani 11:28 mencatat: “… marilah kita mengucap syukur dan beribadah kepada Allah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut.”
Kita mau tidak mau harus menyadari sebuah fakta sejarah yang sangat penting, yaitu ketika manusia jatuh dalam dosa, konsep baik dari manusia menjadi kacau karena yang menjadi standar dari baik bergeser bukan lagi pada penilaian Allah tetapi pada manusia yang berdosa, dan yang terjadi sekarang adalah ciptaan yang berdosa melawan Allah Sang Pencipta. Akibatnya, apa yang dinilai baik oleh manusia tidak tentu baik menurut standar Allah. Kalaupun bisa bersesuaian, itupun karena ditopang oleh anugerah umum Allah (common grace). Misalnya, Mozart atau Beethoven bukanlah seorang Kristen yang baik, tetapi dapat menghasilkan musik-musik yang indah dan bertahan ratusan tahun hingga hari ini. Di sinilah kita melihat anugerah Allah, sehingga tidak ada satu pun kebudayaan di dunia ini yang rusak total dan tidak mengandung kebenaran sama sekali, karena Allah masih menopang dengan anugerah-Nya. Tetapi hal ini bukan menjadi satu excuse bagi kita sehingga boleh memakai kebudayaan mana saja karena tohtetap ada anugerah Allah, tetap ada kebenaran Allah di dalamnya. Jika Allah Sang Kebenaran memberikan standar “baik”  yang demikian sempurna, apakah kita berani dengan alasan seperti itu mempersembahkan kepada Allah musik-musik yang apa adanya, jelek, dan rusak, sementara ada musik-musik yang baik dan penuh kebenaran Allah tetapi kita tidak memberikan kepada Allah hanya karena kita malas, tidak suka, dan tidak mengerti?
Saat kita diselamatkan, diperdamaikan kembali dengan Allah, kita dimampukan kembali untuk berpikir, bertindak, serta menilai segala sesuatu berdasarkan sudut pandang Allah. Pusat penilaian dikembalikan lagi, bukan pada manusia tetapi pada Allah. Maka dengan segala kesadaran, kita seharusnya mempersembahkan musik yang baik kepada Tuhan.
  1. Pengujian dari segala aspek
Alkitab juga mencatat sebuah prinsip penilaian atau pengujian Firman Tuhan terhadap musik yang baik dan indah dalam Filipi 4:8, yang menguraikan secara jelas apa itu keindahan (beauty): “… semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji ….” Kita melihat bahwa kebaikan dan keindahan dalam musik tidak hanya diuji dari satu aspek, misalnya melodi yang sedap didengar atau teks yang benar, tetapi keutuhan segala aspeknya, baik kebenaran, kemuliaan, kesucian, dan sebagainya. Pengujian segala aspek ini membuat penilaian terhadap musik tersebut objektif dan komprehensif.
  1. Creativity as image of God
Segala sesuatu yang berada dalam waktu tidak terjadi begitu saja secara spontan tetapi dicipta atau ada yang membuatnya.[4] Hanya Allah Sang Ada yang tidak dicipta, yang ada lebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (Kol. 1:17). Alam semesta adalah ciptaan yang kelihatan yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia (ay. 16). CREATION is when the CREATOR CREATED the CREATURES; this is CREATIVITY. Dalam bahasa Inggris, kata dasar yang digunakan untuk semua ini adalah CREATE. Manusia memperoleh definisi kreativitas itu berdasarkan apa yang sudah dikerjakan Allah melalui tindakan penciptaan-Nya yang sempurna dalam alam semesta ini.
Sebagai peta teladan Allah, kita diberikan suatu kemampuan berkreasi dan Allah menuntut kita untuk berkreasi. Dalam menjalankan fungsi nabi, manusia dipercayakan untuk menemukan kebenaran Allah atau menginterpretasi apa yang sudah dinyatakan Allah dalam alam semesta melalui kreativitasnya.
Kreativitas Sang Pencipta dalam menciptakan dunia ini harus menjadi dasar bagi seluruh kreativitas manusia, dengan kesadaran bahwa kita terbatas dalam berkreasi karena kreativitas kita dibatasi oleh kreativitas Allah dan kita sendiri adalah bagian dari kreativitas Allah—sehingga kita tidak mungkin melampaui Allah. Ketika manusia melihat dan mempelajari alam semesta, ia mencoba merealisasi, mencipta, mengimitasi dalam bentuk musik. Beberapa prinsip kebenaran Allah yang berada dalam alam semesta, misalnya keteraturan, harmoni, kesatuan dalam keragaman (unity in diversity), individu dan komunitas, kompleksitas dan kesederhanaan (simplicity), besar dan kecil, dan kedinamisan, dijadikan prinsip dalam musik. Demikian juga alam semesta itu sendiri dapat juga dilukiskan dalam musik, seperti gunung, pohon, musim yang berganti, serta suara dan gerakan makhluk hidup baik binatang dan manusia, seperti berlari, berjalan, kepakan sayap burung, kebahagiaan, kemuliaan, keindahan, dan ketenangan. Kemudian di dalam konteks kejatuhan (fallen world), kita menambahkan variabel dalam musik, yaitu dissonan, disharmoni, dukacita, tragedi, kepanikan, dan lain-lain.
Jadi, jika seseorang berkreasi dalam dunia ini, walaupun nampak hebat dalam pandangan dunia karena dianggap sebagai sebuah perkembangan atau penemuan baru, namun jika tidak sesuai dengan interpretasi, penilaian, kehendak, dan kebenaran Allah, orang tersebut tidak bisa disebut kreatif (dalam definisi dan arti kreatif yang sesungguhnya), melainkan dia berdosa, karena tidak tepat pada sasaran (hamartia). Misalnya, musik-musik atonal yang sengaja dibuat untuk melawan sistem keteraturan dari tangga nada, dengan spirit di baliknya adalah pemberontakan. Demikian juga dengan “kreativitas” John Cage yang terkenal, 4’33”—ia hanya duduk selama 4 menit 33 detik di depan piano—yang disebutnya sebagai seni. Ia juga pernah menggabungkan dua belas siaran radio dalam spontanitas dan ia juga menyebutnya seni. Inilah contoh bentuk pemberontakan dalam bentuk kreasi seni.
Contoh yang lebih riil dalam kehidupan kita misalnya ketika manusia mencoba untuk menciptakan suasana sakral melalui musik. Musik menjadi the way of life. Musik yang digunakan menjadi identitasnya, menggambarkan ide dan cara hidupnya (rocker, gipsi), bahkan dipakai untuk divine action, misalnya orang-orang Indian memiliki tarian–tarian untuk menurunkan hujan. Di sini musik yang dipakai menjadi kurang penting dibandingkan dengan keinginan yang hendak dicapai. Akibatnya, dalam tarian-tarian seperti ini sangat tidak menjadi masalah jika musiknya, rhythm-nya monoton, diulang-ulang, tidak ada perkembangan melodi (yang sebenarnya sangat penting dalam musik yang baik), asalkan bisa men-drive mereka untuk mengangkat emosi dan melupakan diri (seperti trance), serta terjadi physical action seperti dalam rangka meminta hujan. Musik di sini menjadi sebuah mantera dan ini mirip dalam musik rap yang diulang-ulang, monoton, tidak ada pengembangan, demikian juga musik-musik New Age yang monoton, berulang-ulang seperti sebuah lingkaran, menciptakan suasana bersatu dengan alam—dan itu adalah sebuah kesengajaan karena pemikiran filsafat di baliknya. Sedihnya, hal demikian diadopsi oleh gereja-gereja sekarang, yang memakai musik-musik New Age dalam ibadah. 
Kita dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya musik itu tidak netral, karena musik tidak berdiri pada dirinya sendiri; ia dicipta, ia merupakan kreasi, realisasi dari interpretasi manusia terhadap kebenaran Allah. Karena itu jika interpretasinya salah, musik yang dihasilkan pun salah dan hal ini sangatlah mungkin karena dalam dunia yang berdosa, pikiran, kehendak, dan emosi manusia berdosa pada hakekatnya melawan Allah. Maka, pernyataan bahwa “musik adalah netral” tidaklah benar. Tetapi, mengapa kita masih bisa menemukan musik-musik yang baik dari orang-orang yang tidak mengenal Tuhan dan teruji oleh prinsip firman Tuhan? Karena wahyu umum Allah dalam alam semesta menuntun manusia tersebut untuk berkreasi. Seperti dikatakan di atas, adanya prinsip kebenaran Allah dalam alam semesta menjadi dasar prinsip musikKarena itu musik yang diciptakan oleh orang non-Kristen mungkin bisa lebih baik dan bagus daripada orang Kristen, apalagi jika orang tersebut belajar musik dengan baik. Sayangnya orang-orang yang belum percaya tersebut tidak mengerti makna dan arah kreativitas mereka. Ini semua menyatakan kelimpahan anugerah Allah yang tidak dibatasi oleh apapun kecuali oleh kehendak dan kedaulatan-Nya. Di lain pihak, keselamatan dari Kristus menjadikan kreasi kita bermakna karena kita mengembalikannya kepada Tuhan.
Sebagai peta teladan Allah, seharusnya kreativitas manusia dalam membuat musik bukanlah upaya pembuktian diri (self-existence) atau pemuasan diri, melainkan bentuk ketergantungan dan kewajiban serta tuntutan kita sebagai ciptaan, yaitu melakukan seperti apa yang sudah Allah lakukan terlebih dahulu. Kita dipanggil untuk mengekspresikan karakter dan atribut Allah dalam ketergantungan total dan harmoni dengan Allah, sehingga membuat musik sebagai sebuah tindakan beribadah (an act of worship). Ini adalah prinsip yang sangat penting di mana manusia dalam seluruh tindakannya meneladani, mengimitasi Allah sehingga dalam seluruh kreasinya manusia boleh menggaungkan kemuliaan-Nya.
Alat musik juga merupakan bagian dari kreativitas manusia. Alat musik memiliki bahan dasar yang berasal dari alam, baik itu kayu (ini yang terbanyak)[5], metal, emas, marmer, kulit binatang, rambut kuda, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah seluruh alat musik tersebut dapat digunakan untuk beribadah kepada Tuhan dan memuliakan Tuhan?
Beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan pertimbangan adalah: yang pertama, kita harus sadar bahwa musik dan alat musik yang diciptakan oleh manusia itu tidaklah netral. Musik dan alat musik adalah wujud nyata dari interpretasi manusia. Manusia sebagai pencipta memiliki posisi lebih tinggi dari ciptaannya sehingga musik dan alat musik tidak boleh mengontrol kita, kita tidak boleh tenggelam di dalamnya. Manusialah yang harus mengontrol mereka. Ada musik-musik dan alat musik yang membuat kita dikontrol olehnya, misalnya musik-musik yang bernuasa tranceNew Age dengan filsafat mengosongkan diri dan bersatu dengan alam, heavy metalrhythm dari drum yang menguasai gerak tubuh dan emosi, distorsi dari gitar listrik. Hal demikian mengakibatkan kita menghasilkan ekspresi jiwa yang tidak natural. Kita di-drive oleh sesuatu dari luar sehingga kita memiliki kepuasan atas pemenuhan jiwa yang tidak berhenti di dalam Tuhan. Hal ini berlainan dengan iman Kristen di mana kita boleh bersukacita saat memuji Tuhan, hati kita begitu dipuaskan karena kita melihat kebaikan Tuhan, karya penebusan-Nya, pekerjaan dan kemuliaan-Nya, dan karena Tuhan sendiri yang menjadi sumber sukacita kita. Hati kita yang sudah dipuaskan oleh Tuhan terpancar keluar dalam bentuk ekspresi jiwa yang natural.
Pertimbangan yang kedua, setiap alat musik dapat menghasilkan bentuk musik dan rhythm tertentu yang menjadi ciri khas dari alat musik tersebut. Violin, misalnya, memiliki suara dari gesekannya paling menyerupai bahasa manusia. Musik-musik akustik biasanya sangat dekat dengan gesture tubuh manusia. Kita bisa memainkan suasana sukacita, kesedihan, riang, atau dukacita. Demikian juga dengan piano, oboe, dan flute. Lain halnya dengan drum yang bersifat monoton dan tanpa tangga nada. Ia tidak dapat berdiri sendiri, ia harus bersama-sama dengan alat musik yang lain untuk menjadikannya berarti.
Pertimbangan yang ketiga berkaitan dengan sifat Allah yang dinamis dan hidup. Allah memberikan rhythm dalam diri kita yang tidak kelihatan. Rhythm itu ada tetapi tidak mengganggu. Misalnya denyut jantung kita. Dia begitu stabil, tetapi terkadang bisa berdetak lebih cepat dan kembali lagi stabil. Maka tidaklah benar jika rhythm yang akhirnya menonjol, monoton, bertempo statis dan menguasai sebuah lagu. Misalnya rhythm yang ada di keyboard bertempo seperti metronome. Dalam hal ini drum sedikit lebih baik daripada iringan keyboard yang statis tersebut karena masih dapat diubah temponya. Kemudian, dalam menyanyi secara natural, kita perlu bernafas, sedangkan iringan tersebut, akibat kestatisannya, tidak memberikan kesempatan bagi kita untuk bernafas, sehingga kita sendiri menjadi tidak natural saat menyanyi, karena dikontrol oleh kestatisannya.
Ketiga hal ini kita bungkus dalam satu semangat ingin memberikan yang terbaik kepada Tuhan. Jika setelah kita belajar, kita melihat dan menemukan ada perbandingan yang lebih baik, kita harus dengan rela melepaskan selera kita dan berjalan, bertumbuh, dan mengganti dengan yang lebih baik. Keadaan seperti ini memang tidak enak, maka setelah kita diselamatkan, menjadi anak Tuhan, kita memiliki satu tugas dalam hidup kita, yakni terus disucikan di dalam segala aspek kehidupan kita termasuk taste kita dalam musik.  
Sebagai seorang imam, kita harus mempersembahkan seluruh kreasi kita yang terbaik dalam bentuk musik, khususnya ke hadapan Tuhan sebagai persembahan yang hidup dan berkenan kepada Tuhan, sebagai bentuk ucapan syukur kepada Allah yang mengaruniakan segala yang baik dan kreativitas, serta sebagai suatu tugas yang dipercayakan Allah kepada kita sebagai wakil-Nya di dunia ini, di mana semuanya itu semata-mata hanya untuk kemuliaan-Nya di sorga dan di bumi ini.
Stanly Maria Iskandar
Mahasiswi Institut Reformed Jakarta
Fakultas Musik Gerejawi

[1] Di sini bukan berarti tidak mengakui sufficiency of the Bible.
[2] Hal ini sangat berlainan dengan konsep dunia yaitu demokrasi yang bersifat humanis yang mengatakan bahwa segala sesuatu dari kita (manusia), oleh kita, dan untuk kita: keberhasilan, kemuliaan, kejayaan adalah bagi kita yang sudah mengusahakannya.
[3] Kata “di hadapan Allah” sangat penting karena Allah adalah standar mutlak, yang absolut dari segala kebaikan oleh karena ketika manusia jatuh dalam dosa, tidak ada lagi standar kebaikan yang sejati dalam diri manusia karena ia terputus dengan Allah sehingga yang menjadi pusat penilaiannya adalah DIRI, bukan Allah.
[4] Hal ini pasti tidak sesuai dengan Evolusi yang percaya bahwa segala sesuatu dimulai dari kejadian yang spontan.
[5] Harpa, kecapi, gambus, gendang, rebana, piano, organ, pipe organharpsichordstrings (violin, viola, cello, conrtabass), fagotte, suling, oboe, timpani, gitar, dsb.

No comments:

Post a Comment