Marilah kita memulai dengan kesederhanaan dalam musik. Lagu hymn, yaitu According to Thy Gracious Word yang dikarang oleh James Montgomery, adalah sebuah lagu hymn yang dinyanyikan selama Perjamuan Kudus. Hymn dan liriknya adalah sebagai berikut:
Untuk menganalisa sebuah musik, pertama-tama kita harus mencari adanya pengulangan dalam musik tersebut.
Dalam hymn yang sedang kita bahas saat ini, kata remember (ingat) diulang pada akhir dari setiap bait, namun di dalam kondisi yang berbeda-beda: I will remember Thee (aku akan mengingat Engkau), and thus remember Thee (maka saat ini, aku akan mengingat Engkau), I must remember Thee (saya seharusnya mengingat-Mu), Will I remember Thee (aku akan tetap mengingat-Mu), dan akhirnya, Jesus, remember me (Yesus, ingatlah aku).
Sesuai dengan setiap kondisi dan lirik yang tercermin pada setiap baitnya secara keseluruhan, bait pertama lebih sesuai untuk dinyanyikan sebelum Perjamuan Kudus dan bait kedua dinyanyikan selama Perjamuan Kudus.
Sementara itu, pada bait ke 3 dan 4 dapat kita nyanyikan sehari-hari, dan bait ke 5 juga memberikan nuansa tentang suatu kelangsungan hidup sampai pada kematian.
Dan akhirnya, pada bait ke 6 menyatakan adanya kehidupan setelah kematian (akhirat).
Bahkan hymn yang sederhana ini pun dapat mengekspresikan secara keseluruhan perjalanan hidup seseorang.
Oleh karena itu, lagu hymn yang tradisional seringkali terdiri dari banyak bait (dapat terdiri dari 12 bait bahkan lebih), sebab mereka tidak hanya menekankan waktu yang saat ini saja dan pada keberadaan diri sendiri, dimana akar dosa adalah karena adanya pemusatan pada diri sendiri (self-center).
Sebuah lagu hymn dengan banyak bait dapat mengajak kita untuk keluar dari diri kita dan mengajak kita untuk melihat Sesuatu yang bukan kita.
Hymn ini diakhiri dengan kalimat Jesus, remember me (Yesus, ingatlah saya), yang mengingatkan kita akan pertanyaan: Seberapa seringkah kita berdoa dan memohon kepada Allah untuk mengingat kita? Bukankah hal ini tidak terlalu sering kita lakukan?
Mengenai musik sakral tradisional, orang seringkali bertanya mengapa harus menggunakan musik yang kuno? Pada masa lalu, Allah bekerja dengan banyak cara dan melalui beberapa hal yang kita tidak sadari.
Beberapa orang juga menyatakan bahwa musik adalah masalah pilihan dan selera. Tetapi, orang yang mengidap diabet memiliki kecenderungan yang besar untuk menyukai coklat. Bukankah orang-orang seperti ini dapat dikatakan sebagai orang yang tidak bebas, melainkan dikendalikan
—bahkan dibunuh—oleh selera mereka sendiri.
Kita selalu berpikir bahwa jika sesuatu itu bersifat subyektif, maka tidak dapat sekaligus bersifat obyektif. Namun, musik dapat bersifat subyektif dan sekaligus memiliki obyektifitasnya. Memang benar bahwa ada kalanya orang mendengarkan musik yang sama, tetapi memiliki persepsi yang berbeda terhadap musik tersebut. Contohnya, apa yang saudara pikirkan ketika saudara mendengarkan nada seperti ini?:
Jika seandainya ada lima puluh orang di dalam ruangan ini, dapat dipastikan akan ada lima puluh perbedaan pandangan.
Nada seperti ini mendahului tentara yang akan maju berperang, atau suatu pawai yang mengiringi kedatangan raja, atau suatu nada kemenangan, dll.
Tetapi saya percaya bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki persepsi, bahwa nada semacam itu menyatakan suatu kesedihan atau ratapan.
Tanpa obyektifitas di dalam musik, maka akan sulit untuk membuat musik dalam dunia perfilman. Karena, tujuan utama musik dalam perfilman, memiliki arti dan pesan yang khusus bagi adegan tersebut. Suatu adegan dengan background musik yang berbeda, dapat memberikan dua persepsi yang jauh berbeda pula, di mana perbedaan itu mengatur kategori dari suatu film.
Contohnya:
Sekarang mungkin saudara akan berargumentasi bahwa komposer seperti Bach cocok bagi orang Eropa, namun tidak cocok untuk orang India, Cina, dan terlebih tidak cocok untuk orang Indonesia.
Tetapi statement tersebut telah terbukti tidak benar, karena karya Bach yang berjudul Air on G-String, telah menjadi favorit bagi orang Arab dengan memberikan lirik Muslim.
Tetapi statement tersebut telah terbukti tidak benar, karena karya Bach yang berjudul Air on G-String, telah menjadi favorit bagi orang Arab dengan memberikan lirik Muslim.
Bach's Air "On the G-string" from his 3rd orchestral suite in D major, BWV 1068.
Jika demikian, mengapa kita perlu untuk mengapresiasi dan membicarakan musik? Jika kita berkeinginan untuk memberikan apreasi kepada musik, maka kita harus setuju bahwa ada satu jenis musik yang lebih tinggi daripada jenis musik yang lain. Jawaban dari hal ini adalah bahwa musik itu sangat memiliki kuasa/pengaruh, pengaruhnya sangat halus/tidak terasa. Yang saya maksudkan halus di sini, adalah bahwa pengaruhnya sangat tersembunyi/tidak nampak. Musik itu seperti garam, misal, ketika kita makan french fries tanpa garam, kita akan komplain tentang tidak adanya garam. Tetapi ketika kita makan french fries dengan garam, kita tidak akan memuji garamnya.
Akan sangat aneh jika kita mengatakan, "Alangkah lezatnya garam ini!", sebaliknya, akan lebih masuk akal, jika kita mengatakan, "Alangkah lezatnya french fries ini!"
Kita tidak pernah menyadari tentang keberadaan garam, walaupun hal tersebut sangat memberikan pengaruh.
Inilah sebabnya, kita harus mengapresiasi dan membicarakan musik.
Kita sadari atau tidak, musik memberikan pengaruh terhadap pandangan dan perspektif kita terhadap segala sesuatu.
Sebagai contoh, bagaimana budaya pop mempengaruhi kita? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita pertama-tama harus mengerti dasar pemikiran di balik budaya pop ini, yaitu cara berpikir yang pragmatis, suatu pendekatan yang menilai sesuatu berdasarkan dapat tidaknya sesuatu itu diterapkan secara praktis sehari-hari.Budaya pop dimulai pada akhir abad 19 atau awal abad 20. Jaman ini bersamaan dengan music klasik abad 20, yang menghasilkan musik yang elitis dan escapist. Elitis berarti bahwa musik tersebut lebih sulit untuk dipahami dan agak terdengar kompleks, sehingga membutuhkan usaha untuk menikmatinya.
Escapist berarti dipisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Kita berpikir bahwa musik klasik adalah untuk orang tua saja dan anak-anak muda dapat mendengarkan suatu kategori musik yang lain, seperti musik pop, R&B atau mungkin kategori yang lebih kompleks, misalnya musik jazz.
Tetapi, gaya berpikir trial and error tidak dapat diterapkan terhadap musik, jika kita mengetahui bahwa suatu musik adalah baik, kita harus segera memulai mempelajari musik tersebut, daripada menunggu sampai tua.
John Dee mengatakan, bahwa pengalaman langsung (immediate experience) itu adalah sesuatu yang berarti. Ia menyatakan, bahwa jika sesuatu itu kita rasakan benar, maka itu adalah benar.
Ini adalah suatu bentuk pemikiran pramatis.
Bandingkan hal ini dengan Plato, yang hidup dalam abad yg berbeda dengan Dee, yaitu 2300 tahun yang lalu, memberikan pemikiran yang menarik tentang musik pop.
Musik pop pada jaman Plato dan musik pop pada jaman sekarang benar-benar berbeda, tetapi analisa Plato tentang musik pop pada jamannya sama dengan analisa kita tentang musik pop pada jaman sekarang.
Pemikiran Plato berikut ini, bukan pemikiran Kristen, tetapi kita dapat belajar tentang hal ini, yaitu mengenai tiga teori tentang emosi dalam jiwa manusia, di mana urutannya mencerminkan tingkat kepentingannya:
1. Reason (pikiran)
2. Emotion (perasaan)
3. Desire (hasrat)
Namun, Alkitab manyatakan bahwa tiga hal tersebut sama-sama penting.
Sementara, Plato menyatakan bahwa pikiran adalah murni, sementara perasaan telah rusak, dan hasrat adalah yang paling buruk.
Namun demikian, Alkitab berkata bahwa tiga hal tersebut telah rusak dan harus dikembalikan kepada Alkitab.
Plato mengatakan bahwa musik pop mengabaikan pikiran dan langsung masuk ke dalam perasaan dan hasrat.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa kita menyukai musik yang sedang popular saat ini, walaupun musik ini tidak melibatkan pikiran di dalam menikmatinya?
Hal inilah yang menyebabkan timbulnya analisa pada musik pop, bahwa kerusakannya semakin nyata.
Seorang Kristen yang sejati, harus menikmati musik dengan seluruh keberadaan kita: melalui pikiran, melalui perasaan dan melalui hasrat kita.
Selain itu, suatu hal yang bersifat terlalu praktis atau sesuatu yang bersifat pragmatis adalah seperti memberikan efek plasebo, yaitu efek yang dirasakan seperti menyembuhkan, namun sebenarnya hanya perasaan palsu saja. Contoh sederhana, efek plasebo itu adalah seperti dokter memberikan kita obat yang palsu / permen, tetapi kita merasa lebih sehat.
Suatu obat bahkan harus diuji efek plasebonya dengan melibatkan 100 pasien: 50 diberi obat yang palsu dan 50 diberi obat yang sebenarnya.
Kemudian, sejumlah pasien yang menyatakan telah sembuh dari dua kelompok tersebut dianalisa, jika efek plasebonya terlalu tinggi, maka obat tersebut tidak diijinkan untuk dijual.
Itulah mengapa seorang vokalis tidak seharusnya mengkonsumsi Strepsils (permen batuk), sebab Strepsils hanyalah permen batuk yang berefek seperti penghilang rasa sakit saja. Strepsils hanya menyembuhkan gejalanya saja, tetapi tidak menyembuhkan penyakit itu sendiri.
Hal ini berbahaya dan ini mirip dengan musik. Kita dapat merasa bahwa sebuah musik itu adalah baik untuk kita, padahal sebenarnya tidak.
Pada masa kini, we membedakan antara pengertian etika dan estetika/keindahan. Etika itu adalah sesuatu mengenai moral dan karakter, sementara estetika adalah sesuatu yang berhubungan dengan keindahan.
Namun Plato tidak memisahkan keduanya, bahkan keduanya tidak terpisahkan.
Oleh karena itu, ketidakmengertian seseorang tentang seni yang tinggi, menyebabkan seseorang tersebut tidak bermoral. Demikian pula, seseorang yang tidak bermoral mengakibatkan ia tidak mengerti seni yang tinggi.
Hal ini sama dengan yang dikatakan Rasul Paulus di dalam Filipi 4:8: "Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu".
Di dalam satu ayat ini, terdapat dua aspek yaitu etika dan estetika yang tidak dapat dipisahkan.
Kita harus mengatakan, bahwa musik itu bukan hanya untuk kita nikmati secara pribadi saja, tetapi juga harus bisa dinikmati oleh orang lain. Maka, di Eropa, pada abad ke 18, ada suatu masa yang disebut dengan Abad Pencerahan (Age of Enlightenment), yaitu di mana musik dapat dinikmati bukan saja oleh kalangan aristokrat, tetapi juga oleh rakyat jelata.
Immanuel Kant (1724-1804) mendukung pernyataan ini, yaitu bahwa "pengalaman manusia itu juga memiliki tempat di dalam otak, dan pikiran itu merupakan sumber moralitas, dan keindahan itu bisa saja muncul dari suatu penilaian sesaat, tanpa adanya suatu analisa yang terlalu mendetail.
Asalkan sesuatu itu dapat menempati suatu ruangan dan berada di dalam suatu waktu tertentu, maka itu adalah sesuatu bentuk yang nyata.
Jadi segala sesuatu yang ada di dunia ini, berada di dalam keberadaanya sendiri dan tidak bergantung pada pikiran kita".
Tetapi, jika seni itu hanyalah sekedar sesuatu yang dapat kita dinikmati sebagai pengalaman belaka, ini sangat mirip dengan komedi putar.
Saudara hanyalah bersenang-senang dengan hal tersebut, tetapi saudara hanya berputar-putar pada porosnya saja dan tidak menuju kemana-mana.
"Aku hanya mau have fun saja, main musik dan, ya... hanya itu saja."
Ini semacam kebahagian yang tidak abadi dan tidak membawa saudara kemana-mana.
Lagipula, musik itu sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan, sebab musik itu berpengaruh terhadap kepribadian dan karakter seseorang.
Bagi manusia, keindahan itu adalah sesuatu yang dapat dinikmati dan sesuatu yang dapat dinikmati itu adalah keindahan. Manusia tidak dapat membedakan keduanya. Ini adalah pandangan pragmatis.
Ketika kita memberikan penghargaan kepada musik, kita tidak menurunkan kenikmatan kita, tetapi malahan menambah kenikmatan kita.
Salah satu penyanyi dari grup band Kiss, yaitu suatu aliran band dark metal pernah diinterview.
Dia ditanya mengapa ia menyukai musik seperti itu? Dan ia menjawab, "sebab kenikmatan saya mancapai titik yang maksimum ketika saya tampil di depan audience".
Kita dapat melihat bahwa ia menemukan suatu kesenangan dan kenikmatan ketika dirinya sendiri menjadi pusat perhatian.
Tetapi, apakah hal ini satu-satunya kesenangan / kenikmatan yang kita kenal?
Kita juga dapat menemukan kesenangan ketika kita memandang matahari terbit atau ketika kita mengamati foto Hubble Ultra Deep Field, yaitu foto dengan jarak yang paling jauh yang pernah diambil.
Hanya dengan satu pengambilan foto saja, Hubble Ultra Deep Field dapat menunjukkan lebih dari 2000 galaksi!
Matahari Terbit |
Hubble Ultra Deep Field |
Tidakkah sekarang saudara merasa kagum dan dapat menikmati ketika saudara dapat mengetahui hal ini? Jika demikian, saudara akan mengerti bahwa saudara dapat menemukan suatu kesengangan ketika saudara tidak menjadikan diri saudara sebagai pusat.
Hal ini menjelaskan bahwa ada Sesuatu yang indah yang bukan kita, oleh karena itu keindahan tidak selalu berarti kenikmatan. Keindahan adalah jika hal yang menjadi pusat perhatian kita adalah yang bukan kita.
Ketika kita mendengar orang berkata "Yesus itu berkelimpahan", kita secara otomatis akan berpikir bahwa kelimpahan-Nya itu akan memberi kita suatu kekayaan dan harta.
Namun sebaliknya, jika kekayaan dan harta hanyalah satu-satunya cara Tuhan untuk memberikan kelimpahan, maka hal tersebut justru tidak mencerminkan kelimpahan.
Kelimpahan-Nya juga dinyatakan melalui seni, musik, tetapi kemudian kita menolak hal tersebut dan mencari kekayaan harta saja!
Kita seringkali memilih untuk membaca buku komik dan menolak untuk mempelajari karya penulis-penulis hebat seperti CS Lewis dan JRR Tolkien.
Akhirnya, kita tidak mungkin membicarakan tentang musik, tanpa membicarakan tentang jaman-jaman di mana musik itu berada: Jaman Pertengahan / Medieval, Jaman Renassaince, Jaman Baroque, Jaman Klasik, Jaman Romantic, dan Jaman Abad 20.
Tetapi, saat ini kita hanya berbicara tentang Jaman Renaissance dan Baroque saja. Jaman Renaissance adalah jaman di mana musik dibuat dengan sangat harmonis dan teratur.
Sementara, Jaman Baroque memiliki harmoni yang lebih kaya, dan lirik menjadi kesatuan dengan musiknya.
Jaman Medieval dan Renaissance, musik tidak berhubungan secara langsung dengan liriknya seperti pada Jaman Baroque.
Pada jaman Renaissance, antara lirik dan musik tidak saling mendukung satu sama lain.
Seorang komponis pada Jaman Renaissance yaitu Josquin des Prez menggubah sebuah karya yang berjudul "Kyrie", yang berarti "TUHAN, kasihanilah", sebagai berikut:
Saat mendengarkan rekaman di atas, lirik dari karya tersebut masih berhubungan dengan musiknya. Tetapi, Josquin also mengarang "Missa Pange lingua - Gloria", dengan musik yang mirip, seperti berikut:
Walaupun Gloria berarti kemuliaan bagi Allah, namun musiknya mirip dengan "Kyrie" yang digubah oleh komposer yang sama.
Hal ini menunjukkan bahwa pada Jaman Renaissance tidak ada kesesuaian antara lirik dan musiknya.
Marilah kita membandingkan hal ini dengan karya Bach (seorang komposer pada Jaman Baroque), yaitu "Kyrie" dan "Gloria".
Ini hanyalah salah satu perbedaan antara Jaman Renaissance dan Jaman Baroque.
Lebih dari itu, salah satu terobosan pada Jaman Baroque ialah konsep chiaroscuro (chiaro berarti terang dan scuro berarti gelap).
Di dalam musik dan seni, chiaroscuro memberikan efek kedalaman, dramatis dan adanya kehidupan.
Sebagai contoh, pada kedua lukisan Caravaggio di bawah ini, penggunaan chiaroscuro begitu nyata.
Dengan mengamati adanya bayangan dan cahaya pada lukisan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sumber cahaya dari kedua lukisan tersebut berasal dari Allah / Yesus.
The Conversion of Saint Paul (or Conversion of Saul), by Caravaggio |
Supper at Emmaus, by Caravaggio |
Chiaroscuro di dalam musik berperan dengan cara yang sama, sebagai contoh, pada karya GF Handel, yaitu Comfort, ye my people, yaitu sebuah accompagnato, di mana karya tersebut ada di dalam salah satu oratorionya yang terkenal yaitu "Messiah", ditulis dengan E mayor.
Sebagai kontrasnya, pada karya yang sebelumnya, pada musik pembukaannya (overture) ditulis dengan E minor.
Pergantian dari musik pembukaan yang bergaya Perancis menuju ke accompagnato tersebut, sangat dramatis, karena adanya efek chiaroscuro tersebut.
Sebagai kontrasnya, pada karya yang sebelumnya, pada musik pembukaannya (overture) ditulis dengan E minor.
Pergantian dari musik pembukaan yang bergaya Perancis menuju ke accompagnato tersebut, sangat dramatis, karena adanya efek chiaroscuro tersebut.
No. 2. Comfort ye my people, 'Accompagnato' (tenor), GF Handel
No. 1. Overture to "The Messiah", GF Handel
Marilah sekarang kita menganalisa lebih dalam karya Handel yang berjudul, Comfort ye my people.
Kestabilan yang dinyatakan di dalam intro / pembukannya membawa rasa damai / tenang bagi pendengarnya.
Jika kita perhatikan lebih lanjut, ada kata-kata yang diulang secara terus menerus, yaitu "Comfort Ye" (Hiburkanlah). Walaupun pengulangan sebanyak empat kali itu dilakukan dengan berbeda-beda.
Hal ini mirip dengan situasi dalam kehidupan kita sehari-hari pada saat kita sedang menghibur seseorang.
Kita tidak menghibur seseorang dengan cara yang persis sama dan dengan kata-kata penghiburan yang sama.
Kita menggunakan kata-kata penghiburan yang berbeda-beda, seperti: "sabar ya, semuanya akan lebih baik, Tuhan akan menolong, dan lain-lain".
Bagian ini, kemudian diikuti oleh kata "Saith you God, saith your God" (demikianlah firman Allah-Mu) dengan nada yang tegas.
Kemudian, kembali lagi ke bagian yang bernada tenang.
Dan pada bagian "pelanggaranmu diampuni", kata pelanggaran diberikan suasana yang tidak nyaman (diminished chord, suatu suasana dan chord yang mengandung kecemasan dan kegelisahan).
Sementara, kata diampuni menggunakan chord mayornya / suasana yang senang, ada beberapa chord yang penting di dalam musik: mayor, minor, diminished dan augmented.
Chord mayor memberikan perasaan bahagia, chord minor memberikan perasaan sedih, chord diminished adalah chord yang memberikan perasaan sempit dan terjepit dibandingkan dengan chord minor. Sedangkan chord augmented memberikan suasana lebih lega / luas dibanding yang lain.
Ini hanyalah beberapa alasan mengapa karya Handel yang berjudul "Messiah" tergolong suatu oratorio yang terbesar.
Dan bahkan sejauh ini, kita belum membicarakan berapa banyak karya yang berbentuk solo yang ditulis di dalam oratorio "Messiah" ini, yaitu suatu jumlah yang angkanya memiliki makna dan yang digubah dengan penuh perencanaan.
Lebih dari semuanya itu, kita harus bertanya, apakah musik ini indah? Jika iya, apakah musik ini indah karena musik jenis ini adalah selera saudara, atau ia indah karena seleramu yang diperluas / diperkaya?
Kita sering mendengar orang berkata bahwa musik konservatif itu tidak bertumbuh sesuai dengan kondisi jaman / budaya.
Pertama-tama, kita harus membedakan antara pengertian konservatif dan pengertian bertumbuh untuk menyesuaikan.
Menjadi konservatif, berarti menjaga kelestarian suatu jaman, dan bertumbuh berarti bergerak.
Keduanya benar, dalam arti kita harus senantiasa bertumbuh, tetapi juga menjaga kelestarian / tetap konservatif.
Oleh karena itu, KRI (Kidung Reformed Injili) juga memiliki lagu-lagu yang bukan lagu hymn, seperti, "Why Have You Chosen Me". Sebab lagu-lagu tersebut sesuai dengan Alkitab, Firman Tuhan.
Bagaimana kita mengetahui sebuah musik itu sesuai dengan Firman Tuhan?
Ada empat aspek untuk mengujinya, liriknya, bentuk musiknya, kehidupan spiritual pengarangnya, dan siapa audiencenya.
Kita mengenal Beethoven dan Mozart yang hidupnya kacau.
Namun demikian, di dalam kekacauan hidup tersebut, bagaimanapun mereka masih mewariskan suatu karya yang memperhatikan struktur musik yang memperhatikan tradisi, dan Tuhan bekerja melalui hal tersebut.
Tetapi mengapa kita mau bergerak untuk jaman ke depan, namun tidak mau bergerak untuk masa lalu?
Padahal di masa lalu, juga banyak musik-musik yang layak untuk dinikmati juga.
Bergerak menuju ke masa depan tidaklah salah, tetapi karena begitu kuatnya pengaruh paham pragmatis yang melatarbelakangi pemikiran ini, maka sangatlah berbahaya untuk diikuti.
---
Q: Pada saat kita datang ke gereja, hati kita harus disiapkan / digemburkan sebelum kita memuji Tuhan. Dan musik pop dapat melakukan hal ini dengan baik!
A: Jika tujuan saudara ke gereja adalah untuk menggemburkan hatimu, maka saya tidak setuju dengan hal ini. Sebab kita tidak pergi ke gereja dengan tujuan untuk diri kita sendiri, tetapi kita ke gereja untuk Tuhan.
Sejak awal kebaktian, memang seharusnya kita langsung memuji Tuhan sebagai bentuk respon kita akan penyertaan Tuhan dan cinta kasih-Nya kepada kita.
Sejak awal kebaktian, memang seharusnya kita langsung memuji Tuhan sebagai bentuk respon kita akan penyertaan Tuhan dan cinta kasih-Nya kepada kita.
Q: Lagu-lagu yang dibicarakan hari ini sangat sulit untuk dianalisa. Musik pop lebih mudah dan tidak membutuhkan banyak waktu untuk dimengerti dan dipelajari.
Kita akan membutuhkan sangat banyak waktu untuk mendidik jemaat sehingga jemaat dapat menikmati musik yang sulit semacam ini.
A: Ini adalah masalah kemalasan. Sekarang saudara mengetahui, bahwa ada musik yang baik, tetapi problemnya, musik tersebut sulit untuk dipelajari dan sulit untuk dimengerti.
Lalu, kenapa solusi terhadap problem ini adalah jangan menggunakan musik yang sulit ini? Dan bukannya berusaha untuk mempelajari dan mengertinya setahap demi setahap.
Jika kita sungguh-sungguh ingin memberikan yang terbaik bagi Tuhan, maka secara pasti, kita akan berusaha untuk menjalani suatu proses pembelajaran, walaupun hal itu membutuhkan banyak waktu.
Pembicara: Vik. Jethro Rachmadi, B.Mus, M.Th.
Ditulis oleh: Alicia Angie Wiranata
Ringkasan belum diperiksa oleh pengkotbah
No comments:
Post a Comment