Monday, April 4, 2016

Biblical Music - Musik Alkitabiah (Part 3)

Pada saat kita membicarakan biblical music kita tidak mungkin lepas dari satu topik besar, yaitu worship. Allah yang sejati menjadi subjek sekaligus objek penyembahan tertinggi dari umat pilihan-Nya, dan musik menjadi ekspresi dan elemen yang penting dalam ibadah tersebut. Banyak penulis Kristen sudah menulis tentang Music and Worshipkarena melihat kebahayaan yang terjadi dalam banyak gereja. Mereka menyebutnya “peperangan theologis,” untuk menyatakan keseriusan terhadap penyelewengan ini. Dalam bagian ketiga artikel ini akan dibahas kaitan antara musik dengan ibadah kita kepada Tuhan.
  1. Menyembah Tuhan dan membangun sesama
John Frame menyatakan dalam bukunya “Worship in Spirit and Truth” bahwa musik yang Alkitabiah harus memliki aspek vertikal dan horisontal. Secara vertikal berarti kita menyembah Tuhan dan secara horisontal membangun sesama (edify others).
Rasul Paulus menggunakan kata “membangun” berulang kali untuk mengingatkan jemaat Korintus (1 Kor. 14) untuk saling membangun sebagai kesatuan tubuh Kristus melalui kebebasan dan karunia yang mereka miliki. Demikian Roma 14, khususnya ayat 13, mencatat hal yang serupa, yaitu agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Kedua bagian ini didasari prinsip yang penting, yaitu kasih (1 Kor. 13). Hal ini pun merupakan hukum yang dikatakan Tuhan Yesus di Mat. 22:37-39. Dalam kasih kita tidak mementingkan diri, kesenangan, dan cara kita sendiri. Justru salah satu bentuk ujian terhadap penyembahan yang benar adalah apakah itu didasari dan teruji oleh kasih yang sejati. Apakah kita sedang menyembah Tuhan dengan cara yang berkenan kepada-Nya?
Gereja harus membangun jemaatnya melalui pengajaran dan penggunaan musik yang baik sehingga jemaat bertumbuh dalam pengetahuan mereka tentang musik. Dengan demikian jemaat diperlengkapi dengan pengetahuan untuk menyembah Tuhan dengan benar dan pertumbuhan rohani juga terjadi karena musik-musik tersebut dibangun berdasarkan prinsip-prinsip firman Tuhan (Ef. 5:19, Kol. 3:16).
           
  1. Janganlah menjadi serupa dengan dunia ini!
Rasul Paulus di Roma 12 menuliskan bahwa kehidupan kita yang sudah ditebus oleh darah Kristus yang mahal merupakan kehidupan yang harus terus diubahkan (be transformed) agar kita memiliki cara pandang (mindset of life) yang berbeda dengan dunia ini, sebagai persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan kepada-Nya.
Demikian juga dalam Injil Matius, Alkitab menyatakan bahwa panggilan seorang Kristen yang sedang berjalan dalamRedemption menuju Consummation adalah menjadi garam dan terang dunia; artinya kita dipanggil untuk me-redeembaik manusia berdosa (mandat Injil) maupun seluruh aspek kehidupan manusia berdosa dalam dunia yang berdosa ini (mandat budaya), termasuk musik.
Di bawah ini akan dibahas dua contoh jenis musik yang tidak dapat kita pakai dalam ibadah:
Jazz
Ada tiga alasan yang akan dibahas dalam bagian ini. Pertama, jazz bukan musik gerejawi sejak awalnya, tetapi musik yang dimainkan di tempat-tempat dansa, parade, pernikahan, bahkan kematian. Kedua, musik jazz mempunyai ciri musik tanpa penyelesaian dan kepastian atau sebut saja musiknya menggantung. Hal ini tidak bersesuaian dengan iman Kristen di mana Kristus datang ke dunia, disalib justru untuk memberikan kepastian jalan keluar bagi manusia berdosa (Redemption) sehingga kita tidak terus berada dalam dosa dan hukuman yang kekal (Fall).
Dalam musik terdapat istilah leading note. Nada ke-7 (baca: si) dalam sebuah tangga nada disebut leading notekarena nada ke-7 tersebut harus dan akan menuju tonika yaitu nada ke-1 (baca: do).
            1      2      3     4      5      6     7 (leading note) 1 (tonika)
         (do)  (re)  (mi)  (fa) (sol) (la)  (si)                       (do)

Musik Jazz menggunakan pergerakan chord 7[i] ini sebagai pilar dari seluruh musiknya. Jika Saudara dapat bermain alat musik, Saudara boleh coba mainkan chord ini: C7 – Am7 – F7 – Dm7 – G7 – C7. Setiap chord selalu diakhiri dengan leading note yang tidak pernah menuju tonika. Coba nyanyikan dengan perlahan rangkaian not berikut ini : 1  2  3  4  5  6  7 atau dalam bentuk broken chord 1  3  5  7. Secara otomatis dan natural akan menimbulkan perasaan tidak enak karena ada pengharapan yang belum atau tidak terpenuhi. Akan sangat berlainan jika dinyanyikan : 1  2  3  4  5  6  7  1 atau dalam bentuk broken chord 1  3  5  7  1. Rasanya langsung tenang dan selesai! Itulah Redemption point! Pengharapan kita terjawab tuntas di dalam Kristus. Inilah ciri musik yang Alkitabiah.
Ketiga, pembalikan ketukan akibat singkup terus-menerus terjadi dalam musik jazz, yang bukan hanya penekanan dibeat 2 dan 4 tetapi juga banyaknya singkup antar ketukan. Penggunaan singkup yang terus-menerus memberikan kesan ketidakstabilan, kegelisahan, kepanikan, dan pada akhirnya mengaburkan beat yang sesungguhnya. Singkup adalah sesuatu yang tidak natural dan kita melihatnya sebagai realita dosa yang tidak dapat kita sangkali dalam dunia ini. Maka, pemakaian singkup dalam sebuah lagu tidak boleh mendominasi dan harus di­-redeemed dengan kembalinya ke down beat dalam proporsi yang dominan.
Rock
Christian Rock Music!” Bagaimanakah kedua istilah yang bertentangan ini dapat bergabung menjadi satu, sementara Alkitab mencatat gelap dan terang tidak bisa bersatu?!
Sekitar permulaan tahun 1960-an musik rock identik dengan semangat pemberontakan yang ditunjukkan melalui musiknya yang tidak natural, misalnya melalui volume yang sangat keras (loudness), pukulannya (pounding beat), dan arah/kecenderungan seksual (sexual directness), serta penggunaan obat-obat terlarang. Semangat pemberontakan ini diiringi dengan seruan “freedom!” sehingga membuat anak-anak muda sangat mudah menerima musik ini sebagai suatu bentuk aktualisasi diri dari kehidupan yang tidak ingin dikontrol. Firman Tuhan justru mengajarkan kehidupan yang dikontrol oleh kebenaran Allah, bukan kebebasan tanpa kontrol.
Musik ini sering diadopsi gereja. Banyak orang ingin melayani Tuhan tanpa melepaskan keinginannya yang berdosa ini. Para pemusik dan penyanyi di gereja tidak lagi dengan sadar memiliki pengertian fear of the Lord tetapi lebih berfokus kepada bagaimana membuat ibadah more friendly and free! Bagaimanakah seorang yang kehidupannya tidak kudus dapat melayani Allah yang kudus? Mengapa gereja yang penuh kekudusan malah mengambil teladan dari orang-orang yang berdosa? Mengapa gereja harus memakai musik yang mengajarkan semangat kebebasan tanpa kontrol seperti ini karena ketakutan tidak dapat menjangkau generasi muda dan ketinggalan zaman? Di manakah kekuatan gereja untuk menjadi garam dan terang jika gereja menjadi serupa dengan dunia ini?
Melalui beberapa contoh di atas kita melihat bahwa musik sendiri tidak netral karena adanya fakta fall yang membuatnya berpotensi berdosa dan tidak Alkitabiah. Hal ini merupakan tantangan bagi gereja untuk berhati-hati dalam memilih musik yang digunakan dalam ibadah, karena gereja adalah mempelai Kristus yang harus datang dengan tangan yang bersih dan hati yang murni (Mz. 24:3-4), serta dengan ketaatan dan kesucian yang dituntut Allah sendiri (1 Ptr. 1:16). Inilah ciri khas paling dasar dari gereja, karena Allah memisahkan gereja-Nya, menyucikan gereja-Nya, untuk hidup bagi Dia. Kita tidak perlu takut, karena kekristenan memang harus berbeda. Berita Injil terlalu mulia untuk dikompromikan dengan sistem dunia ini. Justru Injil diberitakan untuk menyatakan dosa, sehingga berita ini akan menggelisahkan, dan bukan memberikan rasa nyaman bagi dunia berdosa.
  1. Pujian dan kemuliaan bagi Allah selamanya
Semua orang Kristen pasti mengetahui bahwa kita diciptakan untuk memuliakan Allah dan merefleksikan kemuliaan Allah (Yes. 43:7). Alkitab berulang kali memberikan alasan mengapa kita harus memuliakan Allah (Rom. 11:36; Mz. 29:2; 105:3; 115:1) dan secara khusus dalam hal menggunakan musik (Mz. 66:2; 96:1-3). Paulus sendiri menuliskan dalam suratnya kepada jemaat di Efesus dan Kolose agar mereka ber-doxology dalam mazmur, puji-pujian, dan nyanyian rohani (Kol 3:16; Ef 5:19). Akan tetapi, bagaimanakah kita dapat mengetahui musik yang kita persembahkan kepada Allah adalah musik yang berkenan kepada-Nya atau tidak? Hal inilah membuat musik krusial dalam kekristenan. Pergerseran yang sedikit saja akan membuat seseorang tidak lagi memberikan pure doxology to God!
Mengapa seseorang tidak dapat ber-doxology? Hanya satu alasan saja, yaitu karena dia tidak berpusatkan kepada Allah Tritunggal, sehingga yang menjadi pusat dalam ibadahnya, persembahannya, pelayanannya bukan Allah, melainkan dirinya sendiri. Lawan dari God-centered worship adalah man-centered worship. Hal ini sangat tipis sekali bedanya karena saat orang bersama-sama berada dalam gereja, semua menyebut nama Yesus Tuhan. Akan tetapi, sungguhkah seruan itu berpusat pada pribadi Allah? Tentu saja di gereja tidak akan ada orang yang berani mengatakan “Sembah saya!” “Lihatlah kehebatan saya menguasai ibadah!” “Lihatlah permainan musik saya yang begitu mengagumkan!” “Pujian dan kemuliaan bagi saya!” tetapi cobalah baca tulisan di bawah ini:
Attention to human dignity should also make the church sensitive to the fact that our music making, if we are not careful, may result in manipulation. ... the line between using music to encourage the congregation to worship and using it to manipulate human affection is sometimes difficult to discern (and sometimes not so difficult!). But worship leaders must at least be aware of the possibility that music may be used to manipulate people, whether intentionally or unintentionally ... good may be bad.[ii]
Bapa gereja Agustinus juga melihat akan kebahayaan yang dapat ditimbulkan oleh musik, sehingga ia memiliki pandangan dua sisi tentang hal ini. Bagi dia di satu sisi musik baik karena menggerakkan manusia kepada perenungan yang lebih dalam. Akan tetapi, di sisi yang lain, musik dapat menimbulkan kebahayaan yang disebabkan oleh nafsu kedagingan kita, yaitu ketika kita mendengarkan musik, kita dikacaukan, dipecahkan, dihambat justru oleh musiknya, sehingga orang tidak lagi memperhatikan kata-katanya tetapi alunan. Hal demikian adalah dosa karena pada saat terjadi, manusia sedang dikontrol oleh musik yang adalah ciptaan yang tidak berpribadi (impersonal), padahal seharusnya manusia sebagai pribadi (personal) yang menciptakan musik (impersonal) menguasai dan menaklukkan musik yang diciptakannya. Banyak sekali orang Kristen menyembah Tuhan dengan emosi yang sangat berlimpah bukan karena di-drive oleh rasio (understanding) tetapi oleh musiknya—bukan karena pengertian terhadap apa yang dinyanyikan, tetapi karena menikmati goyangan musiknya dengan penuh kenyamanan. Musik memang memiliki daya tarik melalui rythmn, loudness, tempothumber[iii] yang digarap dalam lagu melalui alunan melodi yang dapat membangkitkan afeksi, sehingga seseorang dengan tiba-tiba dapat memiliki perasaan bersemangat atau suasana mellow. Dalam keadaan seperti ini, manusia mudah sekali merasa nyaman dan mulai menikmati diri dalam musik tersebut.
Lalu Tuhan di mana? Tuhan dimanipulasi dengan kita menyebut nama-Nya, menyanyi bagi Dia, tetapi bukan menikmati Dia, melainkan menikmati suasana dan keadaan diri kita yang sedang “menyembah” Tuhan. Sadar atau tidak, yang menjadi tujuan akhir adalah kepuasan diri melalui penyaluran suatu perasaan religius kepada Allah. Banyak pemimpin pujian dan pemain musik justru menggunakan kesempatan melalui suatu performa yang dapat mendorong jemaat untuk menyalurkan afeksinya. Jika dalam suatu kebaktian jemaatnya bersemangat, menangis, berteriak-teriak, menari, melompat-lompat, dianggap ibadah tersebut berhasil. Lima pertanyaan yang perlu ditanyakan atas fenomena seperti ini adalah sebagai berikut. Pertama, kenikmatan itu didorong oleh apa dan siapa? Kedua, para pemain musik dan pemimpin pujian sedang melayani apa dan siapa?  Ketiga, perubahan (transformasi) seperti apa yang dihasilkan setelah semuanya terjadi—apakah jemaat semakin beriman dan mengenal Allah? Keempat, jika semuanya itu tidak ada, apakah jemaat tetap dapat menikmati Allah? Kelima, siapa yang menjadi pusat dari kesemuanya itu, siapakah sesungguhnya yang sedang disembah dan dipuaskan? 
Lalu kita mungkin bertanya apakah sebenarnya ada tempat untuk kita bersukacita dan memiliki kenikmatan dalam menyembah Allah? Tentu saja ada, karena kita memang diciptakan untuk menikmati Allah. Seseorang yang menikmati Allah merupakan hasil dari seseorang yang meninggikan dan memuliakan Allah. Kedua hal ini tidak bisa dilepaskan satu dengan yang lain. Jika gereja meninggikan Kristus, maka jemaat akan dibawa kepada Kristus. Sebuah artikel yang ditulis dalam “Christian History” yang membahas tentang pengaruh musik Bach dalam dunia musik menyatakan bahwa kelebihan dari Bach adalah saat kita mendengar musiknya atau membahas musiknya kita tidak akan pernah bisa melepaskan Bach dari iman Kristennya. Kita dapat mengerti Bach saat kita mempelajari karyanya secara theologis. Karya-karya Bach dikatakan sebagai “the fifth Gospel.” Mengapa?  Jika keempat Injil membicarakan tentang Kristus, demikian juga yang Bach lakukan. Dikatakan dalam artikel tersebut, “Bach memiliki kemampuan untuk menempatkan pendengarnya di kaki salib.”
Dari sini kita belajar bahwa seseorang memuliakan Tuhan dengan cara yang benar, Tuhan bekerja melalui musiknya sehingga boleh membawa orang untuk semakin mengenal iman Kristen, khususnya membawa orang kepada Kristus sendiri. Setiap orang boleh dikuatkan dalam iman sementara ia berada dalam dunia ini untuk menantikan kedatangan-Nya yang menjadikan kita sempurna dan tak bercacat. Dengan hati yang jujur dan melalui pengertian musik yang cukup, serta didasari pengenalan yang benar terhadap firman Tuhan, marilah kita sebagai gereja dan peta teladan Allah yang sudah ditebus mempersembahkan kembali musik yang baik kepada Allah untuk kemuliaan-Nya.
Setelah pembahasan tiga edisi berturut-turut, biarlah kita boleh memiliki pengertian yang komprehensif tentang biblical music. Saya mengakhiri pembahasan Biblical Music ini dengan mengutip sebuah lagu yang berjudul “Open My Eyes” dan biarlah lagu ini boleh menjadi doa kita bersama :
Open my eyes that I may see glimpses of truth Thou hast for me;
Place in my hands the wonderful truth that shall unclasp and set me free
Reff: Silently now, I wait for thee, ready my God, Thy will to see,
Open my eyes illumine me, Spirit Divine!
Open my ears, that I may hear voices of truth Thou sendest clear:
And while the wave notes fall on my ear, ev’rything false will disappear
Open my mouth, and let me bear gladly the warm truth ev’rywhere
Open my heart and let me prepare love with Thy children thus to share
Soli Deo Gloria!
Stanly Maria Iskandar
Mahasiswi Institut Reformed
Fakultas Musik Gerejawi

[i] Chord 7 terdiri dari nada 1-3-5-7.
[ii] Herbert W. Bateman IV (ed),  Authentic Worship (Grand Rapids: Herbert W. Bateman IV, 2002), 164-165.
[iii] Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Bulletin Pillar bulan Oktober “Music and Body” Part One hal. 9, 10.

No comments:

Post a Comment