26 Januari 2016
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi
Mungkin ada yang heran bertanya, kenapa saya begitu keras terhadap perilaku Lesbianism, gay, bisexual and transexualism (LGBT).
Saya seakan penuh murka dan tak memberikan sedikitpun ruang toleransi bagi pengidapnya.
Mungkin saya perlu klarifikasi bahwa saya tidak sedang bicara tentang pelaku, orang dan oknum.
Terhadap oknum, orang dan pelaku LGBT, kita harus tetap mengutamakan kasih-sayang, berempati, merangkul dan meluruskan mereka. Dan saya juga tidak sedang bicara tentang sebuah perilaku personal dan partikular. Saya juga tak sedang bicara tentang sebuah gaya hidup menyimpang yang menjangkiti sekelompok orang.
Karena saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN!
Ya, saya sedang bicara tentang sebuah GERAKAN : ORGANIZED CRIME yang secara sistematis dan massif sedang menularkan sebuah penyakit! Sekali lagi, bagi saya ini bukan semata perilaku partikular, sebuah kerumun, bahkan bukan lagi semata-mata sebuah gaya hidup, tapi sebuah harakah: Movement! Terlalu paranoidkah kesimpulan ini?
Saya telah mengumpulkan begitu banyak kesaksian di kampus-kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal kita yang dipenetrasi secara masif agar terlibat dalam LGBT dan tak bisa keluar lagi darinya. Perilaku mereka sangat persis seperti sebuah sekte, kultus atau gerakan-gerakan eksklusif lainnya : fanatik, eksklusif, penetratif dan indoktrinatif.
Ya, ini telah berkembang menjadi sebuah sekte seksual.
Kenapa mereka perlu menjadi sebuah gerakan ?
Karena target mereka tak main-main: mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah secara legal. Dan untuk itu mereka membutuhkan beberapa prasyarat :
Pertama, jumlah mereka harus signifikan secara statistik, sehingga layak untuk mengubah asumsi, taksonomi dan kategorisasi. Kedua, keberadaan mereka telah memenuhi persyaratan populatif, sehingga layak disebut sebagai sebuah komunitas. Ketiga, perilaku mereka telah diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO.
Untuk memenuhi ketiga hal ini, maka organisasi ini harus mampu menularkan penyimpangannya secara eksponensial kepada lingkungannya.
Mereka telah mempelajari hal itu dari keberhasilan “perjuangan” saudara-saudara mereka di Amerika Serikat. Mereka sadar, pertumbuhan jumlah mereka hanya bisa dilakukan lewat penularan, mengingat mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan.
Mereka sadar, tanpa penularan mereka akan punah!
Kenapa harus menyasar mahasiswa ?
Sebenarnya yang ingin mereka sasar ada dua : Pertama, mahasiswa; dan yang kedua, institusi akademik. Mereka menyasar mahasiswa, karena mahasiswa adalah generasi galau identitas dengan kebebasan tinggi dan tinggal di banyak tempat kost. Sedangkan institusi akademik perguruan tinggi mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas “kenormalan” mereka. Mereka bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM dan institusi internasional.
Per 1 Januari 2015, tercatat ada 17 negara yang undang-undangnya telah melegalkan perkawinan sesama jenis. Dan akan menyusul belasan negara lain. Trend dukungan atas perkawinan sesama jenis terus bertambah.
Silahkan tanya ke politisi negeri ini, apakah mereka akan melegalkan perkawinan sesama jenis di Indonesia ?
Sekarang sih saya yakin jawabannya: TIDAK.
Tapi 20-30 tahun lagi, tergantung situasinya.
Jika itu membuat mereka terpilih, akan banyak politisi yang bersedia menyetujuinya.
Saya tidak berlebihan. Itu rasional sekali.
Silahkan cek di negara-negara lain.
Tahun 1950, tidak ada satupun negara yang melegalkan perkawinan ini, tapi dunia berubah sangat cepat, kelompok pendukung kebebasan semakin besar, kelompok yang tidak peduli, "i dont care" semakin banyak, sistem demokrasi mempercepat legalisasi perkawinan sesama jenis.
Syah. Atas nama kebebasan.
Semua agama melarang perkawinan sesama jenis.
Tapi demokrasi tidak mengenal kitab suci.
Kalian tahu, bahkan homo kelas berat, masih santai pergi ke gereja, ke tempat-tempat ibadah.
Mereka hanya mengenal suara terbanyak. Saya kasih contoh Brazil, Mei 2011 mereka melegalkan perkawinan sesama jenis. Apakah orang Brazil tidak beragama ? 90% penduduk mereka beragama, lantas apakah tidak ada disana yang keberatan dengan legalisasi ini ?
Jawabannya sederhana : mayoritas tutup mata. "I don't care", urus saja (urusan) masing-masing. Saya tidak mau recok. kamu jangan rese. Yang sesama cowok mau ciuman di tempat umum pun, bodo amat. Toh, mereka tidak mengganggu saya. Dulu, Brazil itu sangat religius. Lantas kenapa sekarang jadi berubah sekali ? Bagaimana mungkin politisi mereka meloloskan UU itu ? Apakah rakyatnya tidak keberatan ?
Itulah kemenangan besar paham kebebasan.
Mereka masuk lewat tontonan, bacaan, menumpang lewat kehidupan glamor para pesohor.
Masyarakat dibiasakan melihat sesuatu yang sebenarnya mengikis kehadiran agama.
Awalnya jengah, lama-lama terbiasa, untuk kemudian apa salahnya ?
Di sisi lain, eksistensi agama dipertanyakan. Tuh lihat, toh yang beragama juga bejat, tuh lihat, mereka juga menjijikkan. Fobia agama dibentuk secara sistematis, dimulai dari pemeluknya sendiri, untuk kemudian, orang-orang dalam posisi gamang, mulai mengangguk, benar juga.
Orang-orang jadi malas mendengarkan nasehat agama, buat apa ? Urus sajalah urusan masing-masing. Rumus ini berlaku sama di seluruh dunia. Apapun agamanya.
Bahkan termasuk dalam kasus, tidak ada agama di suatu tempat, hanya ada nilai-nilai luhur--yang pasti juga akan melarang pernikahan sesama jenis. Fasenya sama persis. Strateginya juga sama.
Dekatkan mereka dengan materialisme dunia, jauhkan mereka dari nilai-nilai luhur.
Gunakan teknologi untuk mempercepat prosesnya. Internet misalnya, itu efektif sekali menyebarkan berita, propaganda, dan sebagainya.
Apakah Indonesia juga akan begitu ?
Silahkan tunggu 20-30 tahun lagi.
Jika tidak ada yang membangun benteng-benteng pemahaman bagi generasi berikutnya, tidak ada yang membangun pertahanan tangguh, malah sibuk saling sikut berkuasa, sibuk berebut urusan dunia, sibuk dengan urusan duniawinya, 20-30 tahun lagi, kita akan menyaksikan pasangan cowok bermesraan di tempat-tempat umum. Tetangga sebelah rumah kita adalah pasangan sesama jenis, dan mereka dilindungi oleh UU, karena sudah dilegalkan. Ketika masa itu tiba, kalian bisa kembali mengeduk catatan ini.
Pedulilah, hidup ini bukan cuma urusan pribadi masing-masing.
Hidup ini tentang saling menjaga, saling menasehati, saling meluruskan.
Pedulilah, Kawan, ikut menyebarkan pemahaman baik, lindungi keluarga, teman, remaja, dan semua orang yang bisa kita beritahu agar menjauhi perilaku melanggar aturan agama, nilai-nilai kesusilaan.
Tulisan ttg LGBT di atas yg tulis bukan Sarlito tapi Adriano Rusli (Psikologi UI juga tapi namanya dianggap kurang dikenal, jadi diganti jadi Sarlito).
No comments:
Post a Comment