Tuesday, September 19, 2017

Musik dan Perkembangannya (Part 2)

Dalam edisi yang lalu kita sudah membahas dua zaman besar yang memulai perkembangan musik Eropa, yaitu zaman Renaissance dan Baroque. Jika kita hendak menganalogikan musik dengan bahasa, musik Renaissance dapat diungkapkan sebagai building blocks suatu bahasa, yaitu gramatikanya, struktur kalimatnya, dan juga kosakatanya. Lalu musik Baroque adalah suatu cerita atau prosa yang digubah dengan memakai bahasa tersebut. Kalau yang pertama adalah means of expression, maka yang kedua adalah expression of meaning. Dalam artikel bagian kedua ini kita akan melanjutkan pembahasan kita dengan dua zaman besar berikutnya yaitu zaman Klasikal[1] dan zaman Romantik.
Zaman Klasikal (c.1750-1810)
Musik dalam periode ini dilatarbelakangi oleh semangat zaman yang sangat terkenal: Age of Enlightenment, yaitu gerakan yang menempatkan rasio sebagai otoritas tertinggi dalam menentukan segala sesuatu. Kita akan melihat bagaimana semangat ini mempengaruhi perkembangan musik, tapi sebelumnya kita harus melihat lebih dalam ide di balik Rasionalisme. Satu abad sebelumnya, Eropa sedang memasuki masa klimaks Humanisme. Kalau pada zaman Renaissance, pemikiran Yunani Kuno dijadikan acuan untuk berbagai ilmu, pada abad 16 dan 17 Eropa telah melahirkan orang-orang yang menemukan pemikiran dan ide orisinal, khususnya dalam bidang sains. Contoh yang mudah adalah Isaac Newton dengan rumusan gravitasi dan kalkulusnya. Perkembangan ini adalah pengaruh dari kekristenan dalam ilmu pengetahuan. Dalam periode tersebut, meskipun tidak semua orang Eropa adalah orang percaya, Alkitab diterima secara universal sebagai kebenaran. Christopher Marlowe, pembuat drama Dr. Faustus[2], dalam akhir kisahnya, ketika Faust dilempar ke neraka ia berkata demikian, “Lihat, lihatlah darah Kristus itu, satu tetes saja akan menyelamatkan jiwaku, bahkan setengah tetes, oh Tuhanku.” Marlowe, seperti tokoh Faust, adalah seorang unbeliever sampai pada akhir hidupnya namun ia mengetahui (paling tidak secara kognitif) darimana keselamatan berasal.
Pengaruh kekristenan seperti inilah yang membedakan abad ke-17 dengan zaman Yunani Klasik yang menganggap mitologi Yunani sebagai sejarah, bukan sebagai cerita belaka. Implikasi kepercayaan akan dewa-dewa yang personifikasinya adalah fenomena-fenomena alam mengakibatkan ilmu pengetahuan tidak berkembang. Petir, misalnya, adalah suatu kuasa alam yang diasosiasikan dengan Zeus, dewa tertinggi mereka. Laut merupakan kediaman Neptune, Matahari merupakan kendaraan Apollo. Bayangkan kalau ada yang mengusulkan bahwa petir bukanlah sesuatu yang supernatural melainkan hanya proses alamiah yang lumrah; Socrates bukan hanya dihukum mati karena dituduh merusak kaum muda di kota Athena, ia juga dituduh mempunyai konsep religius yang mendobrak mitologi Yunani. Namun pada abad ke-17 Alkitablah yang diterima sebagai sejarah, sama seperti mitologi Yunani pada zaman Yunani Kuno. Dan Kitab Kejadian mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan, bukan bagian dari Sang Pencipta itu sendiri. Maka petir boleh dipelajari, laut boleh ditelaah. Tanpa pengaruh kekristenan, sains tidak akan berkembang.

Perkembangan sains telah merubah pandangan akan alam semesta, yang tadinya dianggap sebagai sesuatu yang diluar pengertian manusia telah menjadi sesuatu yang dapat dimengerti oleh rasio; kecepatan sebuah benda yang jatuh sampai dengan orbit sebuah planet telah dapat diprediksi dan dihitung. Alam semesta mulai dimengerti sebagai sesuatu yang teratur dan rasional. Pada awalnya, banyak filsuf dan pakar sains dalam periode ini bukan Atheis. Descartes menggunakan konsep “cogito, ergo sum”-nya untuk berapologetika; Newton juga mengatakan meskipun ia dapat menerangkan bagaimana planet-planet berinteraksi, hanya Tuhanlah yang dapat menciptakan keteraturan tersebut. Namun meskipun perlahan, deduksi rasional dan buku ilmu mulai menggantikan iman dan firman Tuhan, sebab implikasi dari Rasionalisme adalah meskipun adanya Tuhan, malaikat, setan, dan dunia yang tidak terlihat tidak diragukan, pengertian ini juga menyatakan tidak ada jalan lain untuk mengetahui semua itu di luar indera manusia atau di luar rasio manusia[3]. Ketika manusia berdosa mulai mendapatkan kebijaksanaan, mulailah ia melupakan siapa yang memberikan kepadanya kebijaksanaan tersebut. Hal ini tertulis di kitab Ulangan: “Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, --bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun--dan ia meninggalkan Allah yang telah menjadikan dia, ia memandang rendah gunung batu keselamatannya[4].
Rasionalisme dan sains yang mendominasi pemikiran Abad Pencerahan telah membuat keteraturan, kejelasan, dan sistematika sebagai nilai estetika. Kita akan melihat contoh dari arsitektur.
Jika kedua gaya ini dibandingkan, dekorasi Baroque mempunyai kompleksitas yang penuh dengan ornamentasi, bahkan yang ukurannya sampai melebihi pintunya sendiri. Sedangkan pintu Klasikal bukannya tidak didekorasi tapi desainnya jauh lebih terfokus pada simplisitas dan keteraturan. Desain seperti ini dicapai dengan memakai bentuk-bentuk yang jauh lebih mudah dimengerti; bentuk persegi lebih mudah “dicerna” otak daripada garis-garis lengkung yang kompleks misalnya. Desain Baroque juga menggunakan sebanyak mungkin variasi tema (contoh diatas mempunyai pilar, bentuk malaikat, bentuk binatang, dan lain lain). Desain Klasikal sebaliknya hanya memilih satu jenis tema yaitu dedaunan.
Musik dalam periode ini juga memiliki natur estetika yang mengutamakan keteraturan dan simplisitas tersebut. Saudara-saudara yang pernah mendengar musik Mozart dan membandingkannya dengan Bach akan langsung menyadari perbedaan ini. Musik Bach adalah musik yang sangat kompleks, jika dibahas bisa tidak habis-habis dari segi meaning, teknik musik, atau strukturnya. Sebaliknya, ada suatu lelucon mengenai musik Mozart: orang awam dapat mengagumi Mozart meskipun tidak tahu–entah kenapa. Hal ini dapat terjadi karena musik periode Klasikal mendasarkan teknik komposisinya dalam prinsip estetika rasionalis yang melihat beauty di dalam balance, clarity, and simplicity. Jika musik zaman Renaissance dan Baroque banyak menggunakan counterpoint dan polyphony, musik Klasikal mulai mengarah pada penggunaan teknik harmoni atau homophony yang lebih mudah dicerna: satu melodi yang diiringi oleh suara lain. Prinsip counterpoint tidak dibuang pada zaman ini namun penggunaannya berkurang dan kadang justru digunakan untuk merepresentasikan keadaan yang kurang teratur. Misalnya dalam oratorio The Creationkarya Haydn ada suatu lagu choir yang menceritakan keadaan ciptaan setelah penciptaan terang. Dalam lagu ini Haydn menggunakan progresi dari keadaan yang kacau menggunakan polyphony (dengan teksnya ”Despairing, cursing rage, attends their rapid fall”) kepada keadaan yang teratur yang menggunakan homophony (dengan teksnya ”A new created world; springs up from God’s command”).
Polyphony
Homophony
Kalau diperhatikan pasti bisa tertebak teknik komposisi mana yang terdengar lebih teratur. Maka karena sifatnya yang lebih cocok dengan estetika rasionalis dalam periode ini homophony menjadi teknik komposisi yang lebih banyak digunakan.
Pengaruh Rasionalisme bukan hanya masuk ke dalam teknik komposisi namun juga struktur suatu komposisi. Hal ini bukan baru ditemukan dalam periode Klasikal, Vivaldi (komposer zaman Baroque) mengatakan dalam musik harus ada predictability, salah satu aesthetic pleasure dalam musik dapat timbul dari ekspektasi yang terpuaskan. Contohnya suatu refrain dalam lagu hymn, refrain tersebut tidak dinyanyikan terus menerus namun dinyanyikan selang satu ayat. Ada suatu kepuasan tertentu sewaktu kita kembali menyanyikan refrain yang sama dan sudah diketahui bukan? Maka dalam musiknya, Vivaldi biasanya menggubah suatu ritornello (kata refrain berasal dari kata ini) yang muncul beberapa kali didalam suatu karya. Bentuk ini dinamakan concerto dan menjadi sangat popular. Periode Klasikal meneruskan strukturisasi ini, dan bentuk-bentuk seperti Sonata, Symphony, String Quartet yang kita kenal pada zaman ini adalah hasil standardisasi pada periode Klasikal. Misalnya Sonata pada zaman sebelumnya hanya berarti ”untuk berbunyi”[5]namun pada zaman Klasikal kata Sonata menunjuk khususnya pada Sonata form, yaitu struktur musik yang mengatur progresi suatu karya dalam tangga nada yang berbeda-beda sehingga terdengar jelas dan teratur[6].
Di manakah tempat musik seperti ini dalam kehidupan kita? Apakah musik yang prinsip estetikanya terpaku erat dalam rasionalitas dapat kita pertanggungjawabkan sebagai ciptaan Tuhan yang seharusnya mencari prinsip estetika dari Alkitab? Tidak hanya itu saja; kalau dalam zaman Renaissance dan Baroque masih banyak komponis-komponis yang takut akan Tuhan seperti Palestrina, Lassus, Schütz, atau Bach, maka dalam periode Klasikal komponis-komponis besar seperti Mozart dan Beethoven hidupnya tidak beres; Mozart menganut Freemason, Beethoven sangat dipengaruhi Pantheism; Haydn mungkin perkecualian, tetapi ia seorang Katolik. Di sinilah kita dapat belajar mengaplikasikan prinsip bahwa segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Rasio adalah ciptaan Allah; lewat prinsip penciptaan kita sekali lagi melihat bahwa hubungan keteraturan, keseimbangan memang adalah kebenaran Allah. Musik yang memakai prinsip demikian jelas bukanlah musik yang salah. Kedua, dalam kedaulatan Tuhan, berkat yang hendak Ia berikan pada manusia tidak akan berubah hanya karena motivasi manusia yang terpengaruh oleh dosa. Mozart mungkin tidak mempunyai kepercayaan yang benar, namun sadar tidak sadar dalam karyanya ia telah menuruti prinsip wahyu umum yang Tuhan berikan. Dalam artikel edisi lalu Saudari Stanly Maria sudah menjelaskan mengenai hal ini.
Namun kalau prinsip rasio adalah kebenaran Allah, bukankah itu berarti musik Klasikal adalah musik yang tertinggi? Musik mana lagi yang lebih jelas mengutarakan keteraturan daripada musik yang digubah berdasarkan prinsip keteraturan tersebut? Paulus dalam 1 Korintus 14:33 mengatakan, ”For God is not a God of disorder but of peace”. Jelas disorder bukan kebenaran, tapi Paulus tidak mengkontraskannya dengan order melainkan dengan peace (terj. Ind. “damai sejahtera”). Allah kita bukan Allah yang kacau tapi juga bukan Allah yang “hanya” teratur. Kalau Saudara melihat mesin bekerja, ada keteraturan dan order, tapi di manakah damai? Rasio memang adalah kebenaran Allah, tapi rasio bukanlah keseluruhan kebenaran apalagi kebenaran yang tertinggi. Dengan menjadikan rasio sebagai penentu utama konsep estetika, musik Klasikal telah kehilangan banyak aspek yang melampaui rasio[7].
Salah satu alasan mengapa oratorio The Creation adalah musik yang sangat baik adalah karena prinsip keteraturan sangat nyata dalam topik penciptaan. Tapi karyanya yang lain, The Seven Last Words of Christ, jika dibandingkan dengan St. Matthew Passion karya Bach tetap berbeda jauh[8]. Kesedihan yang Bach utarakan menembus batas rasio, sedangkan kesedihan dalam karya Haydn terkesan dibatasi logika dan proses kognitif.
Zaman Romantik (c.1810-1920)
Poussin - Funeral of Phocion
Lukisan di atas adalah karya Nicolas Poussin, salah satu pelukis pada zaman High Baroque yang idenya sangat dipengaruhi oleh gerakan Klasikal. Ini adalah suatu lukisan klasik tulen, subject matter-nya adalah penguburan seorang pahlawan Yunani dan gaya arsitektur yang digambarkan adalah gaya arsitektur Roma. Dalam lukisan ini Poussin menggambarkan dunia menurut kaum rasionalis: dunia yang teratur dan indah, sebuah surga kaum Klasik. Kematian tetap ada, tapi tidak digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan (meskipun tidak juga dengan pengharapan). Air digambarkan begitu tenang, pohon-pohon tidak tertiup angin. Segala sesuatu terlihat jelas dan pada tempatnya. Misteri, horor, dan emosi tidak mempunyai tempat di sini.
Friedrich - The Wanderer Above The Sea of Fog
Lukisan yang kedua adalah hasil karya Caspar David Friedrich, seorang pelukis Romantik. Yang langsung membedakan kedua lukisan ini adalah unsur misterinya. Pemandangan di lukisan Poussin tidak terhalang sama sekali, tapi dalam lukisan Friedrich kabut yang tebal justru menjadi isi lukisannya. Friedrich tidak melukiskan pemandangan yang jelas, dan justru ”ketidakjelasan” itulah yang menjadi topik lukisannya. Yang digambarkannya bukan predictability, namun unpredictability. Si Pengembara berdiri dengan pose yang kurang stabil, rambutnya tertiup angin. Di hadapannya terbentang jurang yang tidak terlihat dasarnya, di ujung horison ada puncak-puncak gunung yang lebih tinggi dari tempat ia berada. Dalam lukisan ini, rasio tidak lagi memegang kendali. Gerakan Romantik adalah suatu respons terhadap Gerakan Klasikal: menolak rasio sebagai satu-satunya otoritas dalam segala sesuatu. Emosi, perasaan, misteri telah menantang posisi rasio. Bahkan usaha untuk mendefinisikan istilah Romanticism pasti akan berakibat reduksional sebab gerakan ini adalah gerakan yang pada intinya menolak definisi, menolak kekakuan sistem dan struktur. Ada suatu perkataan dari zaman Romantik yang mengatakan, ”Heard melodies are sweet, but unheard ones are even sweeter.”[9]
Pada awalnya dampak dari semangat ini dalam musik hanya berakibat eksperimentasi dari pihak komponis; ekspresi hal-hal yang misterius dan di luar logika tidak bisa lagi hanya terpaku dalam sistem yang sudah eksis. Maka ilmu harmoni dan sistem tangga nada yang menjadi warisan zaman-zaman sebelumnya dilebarkan ke dalam area-area yang sebelumnya tidak digunakan. Kromatisasi[10], misalnya, dulu digunakan hanya sebagai suplemen, namun musik Romantik menggunakan kromatisasi bukan sebagai bumbu tapi sebagai lauk-pauk. Secara harmoni, musik Romantik juga menggunakan chord progression yang bersifat kromatik yang menyebabkan efek ambiguitas tonal; yaitu suatu lagu yang tidak terlalu jelas berada di tangga nada apa.
Chopin - Fantasie Impromptu Op. 66 bar 5[11]
Bukan hanya secara melodi dan harmoni, tapi ritme juga menjadi subjek eksperimen. Kalau Saudara memperhatikan partitur diatas, dalam satu ketuk tangan kanan memainkan 4 not sedangkan tangan kiri membagi waktu yang sama untuk memainkan 3 not. Permainan ritme yang iregular seperti ini tidak baru ditemukan pada zaman Romantik, namun pada periode sebelumnya hal seperti ini tidak lumrah ditemukan dengan durasi yang berkepanjangan. Dalam Fantasie-Impromptu karya Chopin hampir keseluruhan ritmenya berpola demikian.
Dalam karya musik Klasikal, not pertama atau chord pertama biasanya sangat jelas bunyi dan entry-nya, sesuai dengan prinsip clarity. Tidak demikian dengan musik Romantik, Beethoven misalnya[12], dalam Symphony No.9-nya ia sengaja memulai karyanya dengan sangat sangat lembut dan berangsur menjadi keras. Menurut seorang kritikus musik yang menghadiri pementasan pertama symphony tersebut, hal ini mempunyai efek seakan-akan musik tersebut sudah berjalan sejak dahulu kala dan baru sekarang terdengar! Besarnya suatu orkestra juga menjadi tempat eksperimen. Secara tradisional jumlah pemain di sebuah orkestra Klasikal biasanya berkisar antara 30-35 pemain. Hector Berlioz, seorang komponis zaman Romantik pernah mengatakan orkestra idamannya berjumlah 465 instrumen yang berisi antara lain: 120 violins, 45 cellos, 37 double basses, 30 harps, dan 30 pianos. Musik Romantik tidak lagi tetap tinggal dalam hal-hal yang sudah diketahui tetapi memulai suatu perjalanan terhadap hal-hal yang misterius dan indefinite.
Sampai dengan zaman Klasikal, konsep aktualisasi diri bukanlah sesuatu yang dimiliki masyarakat Eropa[13]. Ada yang lahir dalam keluarga bangsawan, ada yang menjadi petani. Masing-masing kemudian menjalani hidupnya di dalam status kelahirannya. Namun pada abad ke-19 khususnya setelah Revolusi Perancis, sistem feudalis masyarakat Eropa mulai runtuh. Kapitalisme dan Merkantilisme menyebar luas dan individualisme mulai lahir. Sebelum Beethoven, para musikus mau tidak mau harus hidup dengan tunjangan seorang patron, biasanya seorang bangsawan. Sangat sulit bagi seorang musikus jika ia mau mencari nafkah secara independen, pada waktu tersebut prinsip copyright belum secara luas diterapkan. Tetapi Beethoven mendobrak hal ini, ia memanfaatkan Merkantilisme yang mulai bertumbuh dan berhasil menjadi musikus yang independen lewat konser-konser dan juga royalti dari penerbitan dan penjualan partitur karyanya. Seniman dan musikus yang lain pun mulai hidup dengan cara demikian. Kebebasan ini membuat untuk pertama kalinya dalam sejarah para seniman bebas; musik karya mereka tidak lagi digubah menurut selera publik umum, musik telah menjadi aktualisasi diri mereka.
Langkah-langkah ini telah mengakibatkan pengaruh yang luar biasa terhadap dunia musik. Kebebasan yang dibawa oleh periode Romantik bukan hanya mendefinisikan ulang apa itu musik dan keindahan, tapi juga kehidupan. Dan seperti kuda lepas dari kandang, kebebasan ini akhirnya menjadi kebablasan. Musik dari zaman Renaissance sampai Klasikal adalah musik yang digubah dengan mengetahui batas-batas ekspresi. Seperti yang sudah dibahas, musik Klasikal dibatasi oleh persepsi logika, musik Baroque dilimitasi oleh ilmu harmoni warisan zaman Renaissance, dan musik Renaissance sedikit banyak dilimitasi berdasarkan hubungan numeral. Bach dalam St. Matthew Passion telah menuliskan satu melodi yang begitu menyayat hati, yaitu ketika Petrus menyesal setelah ia menyangkal Tuhannya kali ketiga. Tapi sewaktu kita mendengarnya tentu tidak seperti mendengar orang yang menangis meraung-raung yang sudah pasti tidak akan terdengar musikal sama sekali. Dalam musik Baroque, tangisan pun mempunyai melodi yang mengikuti aturan musik. Namun atas nama ekspresi, gerakan Romantik tidak mau berhenti sampai di sini. Pada akhirnya, musik Romantik hancur dibawah beratnya sendiri.
Sebagai contoh adalah Richard Strauss dan operanya Salome, yaitu kisah ketika Yohanes Pembaptis dipenggal oleh Herodes untuk memenuhi permintaan anaknya (dinamakan Salome dalam opera ini) yang telah menari untuknya. Dalam adegan Salome mencium kepala Yohanes Pembaptis yang sudah terpenggal, Strauss menggunakan chord yang berisi 10 not berbeda untuk mengekspresikan suasana yang begitu menjijikan. Dalam tradisi harmoni musik Eropa, chord yang lengkap hanya dapat berisi 3 not yang berbeda. Chord extension seperti seventh chord berisikan 4 dan memerlukan resolusi ke chord yang lebih stabil, menurut ilmu harmoni. Bisa dibayangkan betapa ngerinya bunyi 10 not yang berbeda ketika dibunyikan bersamaan dan tanpa resolusi. Strauss sendiri membela keputusannya untuk menuliskan musik yang sedemikian disonans karena menurutnya tidak ada chord normal yang mampu menggambarkan kengerian yang ingin ia tampilkan, maka ia membuat “musik” yang tidak lagi menuruti prinsip dasar musik itu sendiri. Perkembangan ini tidak mungkin bertahan lama sebelum hancur, seperti bangunan yang mau dibangun tanpa memiliki fondasi, atau seperti ikan yang merasa dibatasi oleh air.
Pada akhirnya, Romanticism yang mengkritik gerakan Klasikal sebagai gerakan yang sempit karena mengutamakan rasio, telah jatuh ke ekstrim yang lain: menjadi gerakan yang irasional. Komponis-komponis berikutnya meneruskan semangat ekspresi gila-gilaan ini, dan pada akhirnya ilmu harmoni ditolak secara total, masuk kedalam zaman musik atonal[14] dan periode Modern yang kacau.
Tidak semua musik Romantik mempunyai ekstrimisme yang demikian tentunya, khususnya karya-karya yang digubah pada pertengahan pertama abad ke-19 masih mempunyai keseimbangan antara ekspresi emosi dan aturan musik, khususnya oleh komponis-komponis yang cenderung old-fashioned seperti Johannes Brahms, Felix Mendelssohn, Robert Schumann, dan lain lain. Mendelssohn, khususnya, sebagai seorang Kristen yang takut akan Tuhan mempunyai banyak karya yang sangat indah, dan sesuai dengan semangat Romantik karyanya mempunyai kekuatan dramatis dan emosional yang sangat dalam tapi tanpa kehilangan keteraturan. Dua oratorionya, St. Paul dan Elijahadalah beberapa karya teragung sepanjang zaman. Sayangnya, selain Mendelssohn boleh dibilang tidak ada komponis besar Kristen lainnya, dan kemerosotan moral pada abad ke-19 telah mengakibatkan banyak karya-karya musik zaman Romantik berkisar pada tema-tema yang sangat tidak alkitabiah. Symphony terakhir Tchaikovsky yang dielu-elukan sebagai karya terbaiknya, menurut adiknya, Modest Tchaikovsky, adalah ekspresi kefrustrasian Tchaikovsky terhadap dunia yang menyerang homoseksualitasnya.
Bukan hanya karya non-Alkitabiah, akhirnya karya-karya yang didasarkan pada cerita Alkitab pun hasil akhirnya sama sekali tidak Alkitabiah karena tidak setia kepada prinsip Alkitab. Sebagai contoh, opera Salome tadi mengambil kisah Alkitab tetapi kemudian menceritakan kembali dengan mindset Romantik yang sama sekali tidak tertarik untuk memperjuangkan kebenaran Alkitab atau untuk memuliakan Allah; adegan yang menjadi hidangan utama malah adalah tarian Salome yang dinamakan Dance of the Seven Veils, dimana soprano yang memerankan Salome harus turun derajat menjadi stripper dan berakhir dengan kematian Yohanes Pembaptis, serta Salome yang akhirnya dieksekusi ayahnya sendiri.
Tidak berarti musik atau seni yang baik adalah seni yang tidak realistis, yang tidak mengenal rasa frustrasi atau ketidaksusilaan. Kitab Mazmur pun dipenuhi dengan berbagai keluhan dan seringkali mengungkapkan kehidupan manusia yang dipenuhi dengan sengsara. St. Matthew Passion dari Bach juga tidak dipenuhi kebahagiaan atau keindahan, tetapi seperti di dalam Alkitab selalu ada resolusi. Kitab Mazmur yang meskipun dimulai dengan keluh kesah, selalu diakhiri dengan pengharapan dan iman kepada Tuhan. Maka seni yang baik adalah seni yang mengembalikan kondisi yang rusak kepada kondisi yang Righteous.
Righteousness dalam seni bukan berarti segala sesuatu harus tanpa dosa, sebab hal ini pasti berlawanan dengan realita. Menjadi Righteous mempunyai arti membenarkan, membuat apa yang kacau menjadi harmonis. Sebab Allah kita bukanlah Allah yang menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera. Kiranya tulisan ini boleh membawa kita mengerti kelebihan dan kekurangan musik yang menjadi warisan kita, dan boleh membantu kita dalam menggunakannya untuk kemuliaan Tuhan. Soli Deo Gloria.  
Jethro Rachmadi



[1]               Istilah musik “klasik” adalah istilah yang sedikit bermasalah karena dapat digunakan untuk menunjuk kepada seluruh musik dalam empat zaman yang kita bahas. Istilah Klasik sendiri sebenarnya menunjuk pada budaya Yunani Kuno. Dalam artikel ini saya akan menggunakan istilah “Klasikal” untuk menunjuk kepada gerakan Klasik di abad ke-18.
[2]               Dr. Faustus berkisah tentang seseorang yang menjual jiwanya kepada setan. Salah satu tema yang disodorkan dalam kisah ini adalah bagaimana manusia terjatuh kedalam fatalisme penghukuman dosa; Dalam pikiran Faust semua manusia berdosa dan tidak mungkin luput dari hukuman, maka ia tidak mencari pengampunan dalam hidupnya tapi menempatkan setan di tempat Tuhan.
[3]               Rasionalisme harus dibedakan dari Rasional. Bersikap rasional berarti memakai rasio, tapi Rasionalis berarti menempatkan rasio diatas segala sesuatu. Orang Kristen seharusnya rasional tapi tidak rasionalis.
[4]               Ulangan 32:15
[5]               Sonata = “to sound”, untuk dibedakan dengan Cantata = “to sing”. Sonata pada zaman tersebut hanya berarti suatu musik yang diperuntukkan untuk instrumen, bukan untuk penyanyi.
[6]               Sonata form secara dasar terdiri dari 3 unsur: Exposition, dimana satu atau dua tema diperkenalkan di tangganada awal dan memasuki tangganada dominant (berjarak perfect 5th, kalau awalnya di C maka masuk ke G). Development, tema-tema yang sudah diberikan dikembangkan, misalnya ditambahkan atau dikurangi, dan biasanya dalam section ini masuk ke beberapa tangganada yang berbeda. Recapitulation, yaitu kembali ke materi expositiontapi secara keseluruhan berada di tangganada awal dan mengakhiri seluruh piece di tangganada tersebut. Struktur seperti ini membuat suatu musik terdengar sangat teratur karena meskipun materinya sangat bervariasi semuanya didasarkan kepada beberapa tema saja.
[7]               Tentunya tidak hilang secara total, namun jika dibandingkan dengan musik Baroque yang sangat ekspresif atau musik Romantik yang sangat dramatis dan emosional, musik Klasik bisa cenderung mekanikal.
[8]               Saya membandingkan dua karya ini atas dasar subject matter yang masih dalam satu kategori, yaitu kisah penyaliban Tuhan Yesus.
[9]               Arnold Whitall, Romanticism. (London: Thames and Hudson, 1987) 9
[10]             Kromatisasi adalah pergerakan not naik atau turun dengan beda setengah, misalnya 1 1/ 2 2/ 3 dalam not angka.
[11]             Garis putus-putus adalah realisasi ritme antara tangan kiri dan tangan kanan.
[12]             Beethoven adalah komponis yang lahir dan memulai karirnya dengan musik Klasik, namun pada masa pertengahan hidupnya gaya komposisinya telah berubah menjadi musik Romantik.
[13]             Misalnya, pada zaman sekarang anak kecil sering ditanya, “Mau jadi apa kalau sudah besar?”
[14]             Atonal = tanpa tonalitas. Kalau Saudara mendengar musik ini, tidak akan tahu musik itu dimainkan secara benar atau salah karena semuanya terdengar tanpa harmoni.

No comments:

Post a Comment