Tuesday, September 19, 2017

Dogmatisme dalam Musik - Vik. Jethro Rachmadi

Excerpted from www.bulletinpillar.org
By Vik. Jethro Rachmadi, B.Mus., M.Th.
Di dalam seminar-seminar musik dalam Gerakan Reformed yang pernah saya ikuti ataupun yang saya pimpin, ada satu pertanyaan yang sepertinya hampir pasti ditanyakan: “Kenapa dalam kebaktian, GRII tidak memakai drum[1]?” Pada awalnya saya biasanya menjawab dengan menerangkan struktur di balik penggunaan drum atau latar belakang sejarahnya yang pada akhirnya dikonklusikan sebagai tidak cocok dengan nilai-nilai Biblikal. Namun akhir-akhir ini kalau saya ditanya demikian, saya biasanya bertanya balik: “Menurut Anda, kenapa dalam kebaktian boleh memakai drum?” Boleh tidaknya memakai suatu jenis instrumen atau gaya musik tertentu di dalam suatu kebaktian tidak seharusnya dilakukan hanya karena belum menemukan alasan negatif; penggunaan segala sesuatu untuk memuliakan Tuhan harusnya didasari pada alasan yang positif. Dengan kata lain, mungkin seharusnya kita berusaha untuk bukan hanya puas dalam taraf “why not”, tetapi juga harus secara aktif memikirkan “why yes”.
Sebelum kita melanjutkan, ada baiknya dilakukan sedikit klarifikasi terlebih dahulu. Sekilas, artikel ini sepertinya adalah satu lagi di antara banyak artikel yang ditujukan untuk menyerang keluar atau berbau Reformed vs. Karismatik Radikal, tetapi isu yang saya hendak angkat adalah sebaliknya: saya ingin mengadakan suatu kritik internal. Izinkan saya menanyakan pertanyaan kedua bagi mereka yang berada dalam komunitas GRII: Kalau kita berani untuk mempertanyakan saudara-saudara kita di gereja lain mengapa mereka memakai musik-musik demikian, bukankah seharusnya kita juga berani bertanya kembali pada diri kita mengapa hari ini di GRII kita menggunakan musik hymn dan klasik?[2] Bisakah kita memformulasikan jawaban “why yes” dan bukan hanya “why not”?
Kembali sebentar ke masalah drum di atas, ketika saya berbincang-bincang dengan orang-orang yang pro-drum, saya menemukan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang hatinya jujur ingin memuliakan Tuhan, namun ada satu kategori lain di mana mereka secara umum terkumpul: mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan drum simplykarena mereka tidak pernah mengerti bahwa ada alternatif lain. Mereka mungkin belum pernah mendengar timpani, atau sudah pernah mendengar tapi belum dibukakan keindahannya. Mereka mungkin pernah mendengar Bach dan Isaac Watts, namun mungkin pada akhirnya tenggelam dalam kebingungan karena tidak mengerti bagaimana menghargai musik-musik seperti itu. Intinya, sebagian besar dari mereka mungkin memilih drum bukan karena mereka memilih, tapi karena mereka tidak punya pilihan.
Tapi kembali ke konteks kita yang berada dalam Gerakan Reformed hari ini, pertanyaannya adalah sebenarnya di manakah letak perbedaan kita dengan mereka? Bagi Saudara-saudara yang menyanyikan lagu hymn setiap minggu, bolehkah saya bertanya mengapa Saudara menyanyikan lagu tersebut? Bagi Saudara-saudara yang datang ke Aula Simfonia Jakarta, sebenarnya apa yang menggerakkan Anda untuk hadir? Menempatkan pertanyaan ini dalam konteks Gerakan kita yang notabene semangatnya adalah untuk kembali kepada Alkitab, apakah cara menggunakan musik dalam gereja kita yang Saudara selama ini berbagian mempunyai dasar Alkitabnya? Ataukah jangan-jangan, saya dan Saudara-saudara juga adalah orang-orang yang tidak mempunyai pilihan?
Seorang penginjil GRII pernah ditanya pertanyaan di atas, dan jawabannya mengungkapkan suatu alasan yang sepertinya lumayan sentral dalam paradigma Gerakan Reformed: “Kalau Saudara bekerja di dalam suatu perusahaan, otomatis Saudara tidak bisa membuat aturan sendiri. Saudara harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh pihak yang berada di atas, otoritas yang berwenang. Kalau pun Saudara adalah bos dari suatu kantor cabang perusahaan tersebut, Saudara tetap terikat dengan aturan-aturan dari kantor pusat. Demikianlah kita di GRII, kita mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong.”
Argumentasi di atas adalah suatu argumentasi yang logis, dan argumentasi demikian cukup efektif ketika dipakai dalam konteks yang tepat, misalnya ketika menghadapi jemaat yang memang hendak ngeyel dan sebenarnya juga bukan hendak mencari kebenaran. Tetapi bagi mereka yang dapat duduk tenang ketika membicarakan musik dan rindu untuk mendapatkan kebenaran, sepertinya ada dorongan untuk mencari suatu dasar yang lebih kokoh daripada sekadar jawaban di atas. Jangan salah sangka, mengikuti suatu figur otoritas bukanlah hal yang salah. Konsep pemuridan Alkitab jelas menuntut ketaatan pada otoritas yang Tuhan telah tetapkan dalam gereja-Nya, khususnya bagi mereka yang masih dalam takaran iman yang muda. Tetapi seiring dengan pertumbuhan iman dan pengetahuan, akan datang hari-hari saat sang anak disapih, saat ia mulai berhenti disuapi oleh ibunya, saat ia mulai berganti dari susu ke makanan keras, saat ia meninggalkan rumah ayahnya untuk berdiri sendiri, dan akhirnya saat ia menjadi ayah bagi seorang anak. Saat itu ia mungkin masih dapat bertanya kepada ayahnya, meminta nasehat, tapi tidak diragukan lagi bahwa saatnya akan datang ketika ayahnya tidak lagi dapat membantu dia. Dan ketika saat itu tiba, sang anak sudah harus menemukan sendiri bagi dirinya apa itu kebenaran.
Klarifikasi lagi, yang saya maksudkan bukanlah bahwa Pak Tong salah dalam menetapkan aturan mengenai pemakaian musik dalam GRII. Saya sendiri secara pribadi percaya Pak Tong pasti sudah terlebih dahulu menggumulkan hal ini dan pasti mempunyai alasan mengapa tradisi yang ia pegang ini bisa dinilai sebagai Alkitabiah. Yang saya hendak teriakkan pada kesempatan kali ini adalah bahwa kita perlu bertumbuh dan menemukan bagi diri kita sendiri dasar kebenaran Firman Tuhan dalam penggunaan musik kita. Kita mungkin mempunyai konklusi yang tepat, tetapi apakah kita sudah memiliki argumentasi di balik jawaban tersebut? Kita mungkin sudah berada di jalan yang benar, tetapi bagaimana kita hendak menuntun generasi selanjutnya ke dalam jalan yang sama jikalau kita tidak tahu bagaimana menemukan jalan tersebut? Hari ini Tuhan masih menempatkan figur besar itu untuk menuntun kita, tapi tidak diragukan lagi bahwa keadaan ini tidak akan berlangsung selamanya. Adalah hal yang sangat menyedihkan melihat anak berumur 30 tahun yang tidak bisa mengancingkan bajunya sendiri kehilangan mamanya yang selama ini merawat dia. Saat ini, GRII sudah berdiri lebih dari 21 tahun dan jika Anda bertanya kepada jemaat pertanyaan yang saya ajukan, apakah menurut Anda mereka sudah mengerti dasar kebenaran Firman Tuhan di balik tradisi musik yang selama ini mereka pegang?

Sikap dogmatis dalam tradisi musik kita ini adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan juga berbahaya. Memang mungkin tidak semua dari anggota GRII setuju dengan penggunaan hymn dan musik klasik, tetapi sepertinya ada suatu norma tidak tertulis yang jelas menyatakan tradisi tersebut sebagai salah satu identitas kita yang tidak terlepaskan. Untuk mengusulkan penggunaan gaya musik jazz dalam kebaktian misalnya, hampir pasti akan mendapatkan kecaman berat. Ironisnya, berapa banyak dari pengecam-pengecam itu yang mungkin pada akhirnya juga tidak bisa menjelaskan bukan hanya mengapa musik jazz tidak cocok dipakai dalam kebaktian, tapi juga mengapa musik hymn dan klasik harus diprioritaskan di atas segala jenis musik yang lain?
Sikap yang demikian, mungkin lebih cocok berada dalam aliran gereja yang pernah dikecam habis-habisan oleh para reformator (baca: Gereja Katolik Roma zaman Reformasi) karena berani mensandingkan tradisi secara dogmatis tanpa senantiasa dievaluasi dan direferensikan kembali pada Alkitab. Dan sebaliknya, mungkin justru sikap yang berani mempertanyakan dengan tajam mengapa hari ini kita menggunakan musik yang kita gunakan tidak selalu harus dimengerti sebagai suatu hal yang negatif atau hampir selalu dilabelkan sebagai tindakan yang melanggar “loyalitas” kepada gerakan (tentunya, terlepas dari pertanyaan-pertanyaan ekses yang memang bertujuan bukan untuk mencari kebenaran). Mungkin, justru sikap yang demikian lebih dekat dengan semangat para reformator: semper reformandadimengerti bukan hanya sebagai sifat menyerang keluar, mereformasi dunia, tetapi justru sebagai suatu sikap senantiasa waspada ke dalam: apakah segala sesuatu yang saya lakukan selama ini benar-benar sesuai dengan Alkitab? Sampai di sini, saya harap saya tidak disalahmengerti, yang saya ingin kritisi bukanlah tradisi kita dalam memakai musik hymn dan klasik, tetapi sifat kita yang cenderung dogmatis dan tidak reformatoris dalam memegang tradisi tersebut. Jika kita memegang tradisi tersebut tanpa mengerti mengapa maka kemungkinan besar kita tidak jauh berbeda dengan orang-orang di luar sana yang selama ini kita kritisi habis-habisan, yang kita sebut sebagai orang-orang yang hidupnya tidak kembali kepada Alkitab.
Kebahayaan Pertama: Faktor Eksternal
Tidak perlu menjadi seorang jenius untuk menerka apa yang kira-kira bisa terjadi dalam masa-masa pasca Pak Tong jika lubang yang menganga ini tidak segera ditambal. Sebuah benteng yang mempunyai tiga sisi tembok yang tahan menghadapi meriam apapun, namun juga mempunyai satu sisi lain yang batunya sudah lapuk, tidak ada gunanya dalam menghadapi serangan musuh. Ini adalah kebahayaan besar yang pertama: Gereja yang dasar Alkitabnya tidak kokoh akan sangat rentan dalam menghadapi serangan dari luar. GRII seringkali mempunyai reputasi sebagai gereja yang terkesan ofensif; gambaran ini boleh dikatakan memang tidak jauh dari kenyataan. Pak Tong sendiri mengatakan Gerakan Reformed Injili bukanlah suatu gerakan yang hanya menjawab tantangan dunia tetapi harus juga menantang dunia. Namun seringkali kalimat tersebut disalahmengerti sama halnya seperti istilah “fighting Reformed” yang seringkali dibaca sebagai “semangat tawuran ala Reformed” di dalam benak beberapa orang. Beberapa kali saya mendapat kabar bahwa ada kritik yang disampaikan dari gereja Reformed kepada gereja-gereja Karismatik yang radikal: “Kalian telah membuat ibadah menjadi night club”.
Yang menarik di sini adalah akhir-akhir ini saya mendapat bahwai arah angin berubah, dengan gereja-gereja Karismatik yang radikal merespons dengan menyerang balik demikian: “Ok, kami mengaku telah membuat ibadah jadi night club, tetapi kalian telah membuat ibadah menjadi concert hall… apa bedanya kalian dengan kami?” Anda mungkin dapat langsung mengatakan bahwa image “concert hall” sepertinya lebih baik daripada “night club”, tetapi sekali lagi, apakah Anda mendapat kebenaran itu dari Alkitab atau keyakinan Saudara adalah keyakinan yang dihasilkan oleh semacam iman buta terhadap tradisi Reformed Injili? Jikalau Anda ingin mengatakan bahwa musik Beethoven atau Chopin (yang adalah notabene musik “sekuler”) lebih pantas dipakai dalam ibadah daripada lagu hip-hop dan R&B, argumentasi apa yang akan Anda pakai untuk mempertanggungjawabkannya? Bukan cerita baru, mendengar banyak orang Reformed mengawali argumentasinya dengan kalimat “kata Pak Tong… Pak Tong pernah bilang begini dan begitu…”. Jikalau level pengertian kita hanya berhenti pada otoritas Pak Tong dan bukan pada Alkitab, apa yang akan menghentikan kita untuk menyeleweng jikalau suatu hari dalam era pasca Pak Tong ada otoritas baru yang naik daun, berkarisma tinggi namun menyesatkan?
Pada hari ini banyak orang dalam GRII menyangka bahwa tantangan musik yang sedang dialami GRII adalah bagaimana membendung pengaruh karismatik radikal; saya hendak mengatakan bahwa tantangan itu sebenarnya hampir nihil di dalam lingkaran komunitas kita. Tuhan memberikan kita figur besar itu sebagai suatu benteng pertahanan yang hampir tak tertembus. Tantangan kita hari ini, menurut saya, adalah bagaimana kita tidak take for granted benteng tersebut dan menggunakan masa-masa “damai” untuk mempersiapkan diri menghadapi musuh yang sudah menunggu saatnya benteng tersebut meninggalkan kita.
Kebahayaan Kedua: Faktor Internal

Kebahayaan besar kedua yang akan dihasilkan oleh sikap dogmatis dalam menggunakan tradisi musik apapun adalah adanya kecenderungan untuk menyalahgunakan tradisi tersebut, yang mungkin pada dirinya sesungguhnya baik. Seorang anak yang tidak mengerti tujuan dan penggunaan suatu alat yang dinamakan oleh orangtuanya dengan nama pisau adalah suatu kebahayaan besar, suatu bom waktu yang hanya tunggu waktu untuk meledak. Anak tersebut mungkin percaya bahwa orangtuanya memakai pisau pasti untuk tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan, tapi apa gunanya konklusi tersebut kecuali sang anak juga mempunyai argumentasi di belakangnya? Jika kita tidak mengkritisi sikap kita yang ignorant terhadap alasan utama, tujuan, dan cara penggunaan tradisi musik GRII, ada kebahayaan besar yang suatu hari akan datang (atau mungkin sudah terjadi), dan hal itu tidak harus datang karena serangan musuh dari luar.
Saat ini misalnya, dalam penggunaan musik di dalam Paduan Suara, saya mengamati suatu trend yang tidak sehat mulai muncul: Di dalam latihan-latihannya perhatian yang besar dicurahkan untuk mempelajari not balok, teknik menyanyi, teknik mengucapkan kata-kata dari berbagai bahasa dengan tepat, voice production, dinamika dalam menyanyi, penghayatan, dan sebagainya. Ini semua adalah baik adanya, dan memang merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari kegiatan bermusik. Namun, seringkali dalam latihan-latihan tersebut para choristers sudah lupa (atau bahkan tidak tahu) apa yang namanya memuji Tuhan. Atau, berapa persen waktu yang digunakan untuk misalnya, mempelajari nilai-nilai theologis yang dicerminkan dalam teks lagu maupun musiknya? Meskipun teknik penting, bukankah salah satu dasar utama daya tarik lagu klasik bagi orang Reformed adalah karena musiknya sangat dalam dan akurat dalam mengekspresikan nilai theologisnya? George Frederic Handel, dalam Oratorio Messiah menuliskan suatu lagu yang teksnya diambil dari Roma 10:15 edisi KJV “How beautiful are the feet of them that preached the gospel of peace”. Sekilas kalau Anda ditanya bagaimana akan membuat lagu yang membicarakan teks tersebut, mungkin hampir semua dari kita paling tidak akan menggunakan tangga nada mayor dalam menuliskan lagunya. Tepat bukan, mengekspresikan kata beautiful dengan tangga nada mayor yang terkesan positif dan riang?[3] Namun Handel justru memilih untuk melagukan teks tersebut dengan tangga nada minor, tangga nada yang secara umum diatributasikan dengan perasaan yang lebih negatif, yang membawa kesan menyedihkan.[4] Mengapa demikian? Salah satu interpretasi yang mungkin adalah bahwa Handel sedang ingin menunjukkan bahwa keindahan kaki penginjil bukanlah keindahan semacam kehalusan kaki milik Claudia Schiffer atau Gisele Bündchen. Kaki seorang penginjil mungkin sudah hancur-hancuran karena berjalan tidak henti-hentinya melewati segala medan, menghadapi marabahaya dan berbagai musuh Injil. Tapi kaki yang demikian memancarkan suatu keindahan yang berbeda, yang jauh lebih indah daripada kaki supermodel termahal dunia. Namun berapa banyak kesempatan kita mendengar penjelasan seperti ini ketika kita mempelajari sebuah lagu di paduan suara gereja kita, meskipun oratorio Messiah sudah sangat sering dipentaskan? Jangankan dalam latihan-latihan, kejadian yang masih banyak terjadi entah disadari atau tidak adalah ketika suatu paduan suara menyanyi dalam bahasa asing, kata-katanya tidak dibacakan, ditayangkan, atau dijelaskan?[5]
Fenomena ini tidak berhenti di paduan suara. Kalau kita membicarakan mengenai masalah ibadah hari Minggu, poin yang senantiasa harus ditekankan adalah bagaimana kita beribadah (yaitu, polanya, liturginya, musiknya, khotbahnya) dengan mencerminkan kebenaran Alkitab. Ibadah Reformed adalah suatu ibadah yang mencerminkan pengertian Reformed dalam segala aspeknya. Kedaulatan Allah, Ketergantungan manusia, Fakta Kejatuhan, Penebusan Kristus, Pengharapan Akhir Zaman, Keutamaan Alkitab, dan berbagai hal yang lain harus dinyatakan di dalam suatu kebaktian untuk mengatakan bahwa sebuah ibadah adalah ibadah yang baik. Sesungguhnya ibadah merupakan semacam confession, semacam pengakuan iman kita di hadapan Allah dan di hadapan dunia mengenai siapa Allah kita dan bagaimana kita mengenal Dia. Lagu ibadah menempati posisi yang spesial karena lagu-lagu dalam kebaktian mempunyai porsi yang cukup signifikan dalam menyatakan hal-hal tersebut.
Namun hari ini, berapa banyak dari para liturgis bisa mengatakan bahwa mereka mengerti lagu-lagu yang mereka pakai dalam suatu kebaktian? Berapa banyak yang mempelajari dengan seksama ekspresi iman dari satu ayat ke ayat yang lain? Jika liturgis tidak bisa diharapkan untuk mengenal lagu-lagu yang mereka nyanyikan, bagaimana mungkin jemaat bisa dituntut untuk melakukan hal yang sama? Dalam 1 Korintus 14, Paulus menyatakan bahwa dunia dapat mengenal Allah seperti apa yang kita percaya lewat melihat ibadah kita. Kira-kira Allah seperti apa yang dinyatakan oleh para liturgis dan pianis yang menyanyikan lagu tanpa pengertian? Mungkin, dunia akan mendapati orang Reformed di GRII mempunyai Allah yang tidak terlalu peduli dengan ibadah umat-Nya. Hal ini semakin ironis ketika kita mempertimbangkan unsur historis dari hymn[6], yang pada awal masa reformatoris digunakan justru untuk menyatakan nyanyian pujian sebagai tanggung jawab dari setiap orang Kristen dan bukan hanya para kaum rohaniawan.
Luther, dalam konsep “imamat rajani”nya menyatakan oleh karena Alkitab mengatakan bahwa setiap orang Kristen adalah hamba Tuhan, maka setiap orang Kristen boleh membaca Alkitab sendiri, boleh berdoa langsung kepada Tuhan (tanpa harus melalui mediator para imam) dan boleh ikut bernyanyi memuji Tuhan. Itulah sebabnya Luther mulai mengadaptasikan musik-musik chant yang selama itu menjadi milik eksklusif para rohaniawan menjadi bentuk sederhana yang bisa dinyanyikan jemaat, cikal bakal tradisi hymn kita hari ini. Maka penggunaan genre hymn dalam beribadah sesungguhnya membawa dengannya suatu kepercayaan bahwa bernyanyi memuji Tuhan adalah tanggung jawab seluruh jemaat. Allah seperti apakah yang dinyatakan oleh tradisi seperti ini? Yang pasti, Allah yang peduli dengan pujian umat-Nya, yang memberikan hak bagi seluruh dari kita untuk memuji Dia. Kembali kepada situasi kita hari ini, sekali lagi mungkin kita memang sudah memiliki konklusi yang tepat, tradisi yang sangat dapat dipertanggungjawabkan. Tapi pertanyaannya, dalam 21 tahun kita menjalani tradisi tersebut apakah kita mengerti argumentasi di belakang semua tradisi itu? Apakah bahkan ada suatu hasrat untuk senantiasa mencoba untuk rediscover kembali akar tradisi kita kepada kebenaran Alkitab? Atau kita sudah menjadi sangat dogmatis, mati di dalam kekakuan kita atau “loyalitas” kita terhadap otoritas Pak Tong? Bukankah Pak Tong sendiri mengatakan tidak boleh ada yang lebih mencintai Pak Tong dibanding mencintai Tuhan dan Firman-Nya?
Panggilan untuk Bertumbuh
Di sini kita harus menyadari bahwa kesalahan seorang murid Tuhan yang paling fatal bukanlah masalah berpengetahuan sedikit; kesalahan yang paling berbahaya adalah ketika kita bertahan dalam suatu level pengetahuan, baik itu sedikit atau banyak. Menjadi seorang anak SD tidak pernah akan dikatakan sebagai suatu dosa, tetapi seorang anak kelas 6 SD yang menolak untuk naik ke SMP dan ingin terus menerus duduk di bangku kelasnya jelas adalah suatu permasalahan besar. Musuh iman bukanlah kecilnya iman, tetapi stagnasi iman. Setiap dari kita harus mengakui bahwa kita hanyalah manusia yang pada dasarnya pasti parsial dan tidak sempurna; manusia memang tidak diciptakan untuk menjadi tidak terbatas. Tetapi manusia juga diciptakan dengan kapasitas untuk bertumbuh seiring dengan berjalannya waktu.
Hari ini kita diberikan oleh Tuhan seorang hamba Tuhan yang memang Ia pakai untuk memimpin dan menetapkan suatu standar, guideline yang menjadi suatu rel bagi GRII. Tapi pernahkah kita berpikir bahwa Tuhan memberikan ini bukan menjadi suatu tujuan akhir, tapi justru sebagai langkah pertama menuju hal-hal yang lebih besar? Stagnasi yang dialami mungkin berakar pada hal ini: pekerjaan Tuhan yang kita lihat terjadi lewat pekerjaan Pak Tong begitu besar dan overwhelming sehingga terkadang tidak terbayangkan bagi kita bahwa di atas langit masih ada langit. Melihat Katedral Mesias, Aula Simfonia Jakarta, dan Museum Sophilia misalnya, siapa yang berani bermimpi untuk suatu hari mengungguli semua itu? Label “orang sombong” akan melekat pada orang tersebut lebih cepat daripada kedipan mata. Tetapi mari kita pikirkan alternatifnya sekarang: Apakah pekerjaan Tuhan, Tuhan Pencipta langit dan bumi, hanya akan berhenti pada level yang demikian? Stagnasi ini dapat dilihat bukan hanya dalam skala besar: mari kita perhatikan kondisi susunan liturgi kita yang pada hari ini sudah menjadi harga mati. Siapa yang berpikiran untuk meng-improveliturgi GRII? Pak Tong sendiri berkali-kali mengingatkan bahwa apa yang ia kerjakan hanya berupa suatu fondasi yang harus dibangun terus-menerus oleh generasi penerusnya. Apakah Anda akan menyebut Elisa sombong karena ia meminta kuasa dua kali lipat dari Elia? Apakah Anda akan mengganggap Yohanes Calvin sebagai pemberontak karena ia membawa arah reformasi melampaui apa yang dikerjakan oleh Martin Luther? Ketika kita bekerja bagi Tuhan, the sky has no limit. Kiranya artikel ini boleh menginspirasi kita untuk senantiasa berjuang untuk mempertanggungjawabkan anugerah yang Tuhan sudah berikan kepada kita. “Yang diberi banyak, dituntut banyak”.
Soli Deo Gloria.
Jethro Rachmadi


[1] i.e. modern drum set, bukan alat perkusi secara umum.
[2] Istilah “hymn” dan “musik klasik” sangat luas dan sangat sulit untuk didefinisikan secara pasti. Di sini yang dimaksudkan dengan hymn dan klasik adalah umbrella term bagi jenis musik yang selama ini secara umum dipakai di GRII.
[3] Contoh lagu-lagu tangga nada mayor misalnya Besar Setia-Mu, Jesus Loves Me, dan sebagainya.
[4] Contoh lagu tangga nada minor misalnya Kepala yang Berdarah.
[5] Di poin ini umumnya ada banyak yang akan mengatakan bahwa mereka tidak melakukannya karena tidak mempunyai kapasitas untuk menjelaskan. Perlu diingatkan bahwa argumentasi semacam ini sangat berbahaya, karena dengan menjauhkan diri dari tanggung jawab seperti ini akan justru berakibat tidak pernah adanya perubahan. Since it’s not your fault, then you cannot do anything about it. Tuhan menciptakan manusia dengan kapasitas mampu untuk belajar. Pemimpin Paduan Suara yang menolak untuk mengembangkan kapasitasnya dan bertahan dalam kesempitannya lebih baik mundur.
[6] Kata “hymn” mempunyai arti yang sangat luas dan sulit untuk dispesifikasikan secara jelas. Misalnya, kata hymnos di Alkitab (e.g. Mat. 26:30) hampir pasti menyatakan jenis musik yang pasti berbeda dengan “hymn” yang hari ini kita pakai. Namun untuk artikel ini, mungkin cukup aman untuk menyatakan bahwa penggunaan kata “hymn” di sini mengacu pada tradisi musik jemaat dari Martin Luther dan para Reformator yang terus dikembangkan sampai pada hari ini.

No comments:

Post a Comment