Excerpted from www.bulletinpillar.org
By Vik. Jethro Rachmadi, B.Mus., M.Th.
Sebenarnya artikel ini mungkin lebih tepat diberi judul “Introduksi mengenai Musik Dunia Barat dan Perkembangannya,” sebab tema sejarah musik adalah tema yang terlalu luas. Namun lewat artikel ini saya berharap dapat memberikan sedikit insight terhadap semangat zaman, konsep-konsep, serta filsafat yang mendasari perkembangan musik Eropa dalam lima zaman yang besar. Di edisi ini kita akan membahas zaman Renaissance dan Baroque, dan di edisi berikutnya kita akan melihat zaman Klasik, Romantik, dan Modern. Adalah doa saya agar kita sebagai pemuda-pemudi Kristen di zaman yang rusak ini tidak tertidur, tidak sembarangan menerima ataupun menolak segala ilmu, tapi boleh sungguh menghidupi Firman Tuhan seperti tertulis di 1 Tesalonika 5:22: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
Zaman Renaissance (c.1300-1600)
Seperti semua periode kultural yang lainnya, pembatasan tahun periode Renaissance bersifat tidak mutlak—suatu zaman terlalu kompleks dan rumit untuk dapat dibatasi dalam hitungan tahun. Kata renaissance berarti rebirth—diatributkan untuk periode ini oleh seorang sejarawan Perancis abad ke-19, Jules Michelet. Gerakan Renaissancebernama demikian karena gerakan ini melahirkan kembali ide-ide dan pemikiran-pemikiran dari zaman Greco-Romanyang sudah begitu lama hilang dari Eropa, misalnya pemikiran dari filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, atau ahli retorika seperti Cicero atau juga Quintillianus yang tersimpan di dalam banyak teks Latin kuno di perpustakaan Ordo Monastik di Eropa, juga dari teks Latin yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain.
Semangat zaman ini adalah apa yang sekarang disebut Humanisme, meskipun pada zaman tersebut filsafat di balik semangat itu tidak harus diartikan sebagai semangat untuk menjadikan manusia sebagai pusat segala sesuatu dan “menurunkan” Tuhan. Memang semangat gerakan ini akhirnya melahirkan Aufklärung yang jelas melawan Alkitab, tapi pada awalnya semangat Humanisme lebih dekat dan sangat dipengaruhi oleh Kekristenan. Manusia bukan lagi makhluk yang kotor dan rusak belaka (seperti yang diajarkan gereja yang tidak bertanggung jawab pada zaman Dark Ages), tapi juga adalah manusia yang mempunyai dignity sebagai peta dan teladan Allah. Sayangnya keseimbangan ini tidak bertahan lama dan akhirnya terjeblos ke dignity tanpa humility, yaitu Humanisme modern. Istilah humanis sendiri dalam zaman Renaissance dimengerti sebagai orang yang mendalami suatu sistem kurikulum edukasi dalam bidang-bidang yang sudah ada sejak zaman Medieval, seperti Dialektika, Gramatika, Retorika, dan juga Musik, tapi dipelajari dalam pengertian yang digali dari apa yang disebut primary source—dalam hal ini pemikiran para filsuf Greco-Roman. Gerakan Reformasi yang terjadi di periode pertengahan-akhir zaman Renaissance sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Humanisme. Martin Luther, misalnya, mendapatkan sistem edukasi humanis. Namun Luther kemudian menjadikan Alkitab sebagai primary source—lahirlah back to the Bible.
Seni suatu zaman merupakan cermin semangat zaman tersebut, sebab budaya suatu zaman tertuang dari semangatnya. Misalnya, kebangkitan retorika klasik mempunyai efek yang merambat ke dalam literatur, puisi juga drama yang mengikuti bentuk retorika klasik. Kebangkitan prinsip simetri dan proporsi dari zaman Greco-Romantercermin di dalam arsitektur Renaissance.
Roman Architecture – Temple of Vesta
Renaissance Architecture – Tempietto San Pietro of Montorio
Donato Bramante, seorang arsitek Renaissance, membangun suatu Tempietto (semacam bangunan kecil untuk memorial para martir) di gereja San Pietro di Montorio yang mengambil konsep arsitektur dari zaman Roma, Temple of Vesta. Konsep simetri dan proporsi juga mempengaruhi lukisan-lukisan Renaissance: para pelukis menggambarkan struktur dan proporsi manusia dengan lebih akurat; kisah yang sudah sering diketahui adalah bagaimana Michelangelo sampai meneliti mayat manusia untuk dapat mengerti anatomi manusia secara tepat sehingga lukisannya mempunyai akurasi yang sangat tepat. Bagaimana dengan musik?
Kita akan membandingkan konsep dasar tentang musik ini dari pemikiran masa kini dengan zaman Renaissance. Pengertian tentang musik pada zaman Renaissance adalah pengertian yang didefinisikan melalui hubungan numeral, bukan aural seperti pada zaman ini.[1] Sebagai contoh kita akan melihat interval.
Interval Diatonik
Kalau not “do” dan “do tinggi” dibunyikan bersamaan, kita menilai suara itu sebagai konsonans[2] karena terdengarenak. Kalau sekarang kita menyanyikan do dan re, do dan mi, do dan fa, dan seterusnya sampai do ke do tinggi kita akan menemukan 5 konsonans dan 2 disonans. Dalam zaman Renaissance, hanya ada 2 konsonans di dalam 7 kombinasi tersebut, oktaf dan fifth. Pada zaman Renaissance interval oktaf yang tadi dinilai konsonans bukan karena kualitas auralnya, tapi akan dinilai secara numeral: perbandingan frekuensi dari dua not dalam oktaf tersebut adalah 2:1, hal ini dilihat baik secara angka kalau dibandingkan dengan misalnya “do” ke “mi” yang perbandingan frekuensinya 5:4, tentunya karena 2:1 lebih bulat daripada 5:4. Relasi numeral dalam interval musik ini adalah hasil pemikiran Phytagoras yang diaplikasikan ke dalam musik.
Hal ini berlanjut ke dalam teknik komposisi dalam musik Renaissance. Pada zaman Renaissance para komponis tidak menggubah berdasarkan prinsip harmoni (teknik komposisi harmoni seperti yang sekarang kita mengerti baru lahir di zaman Baroque) melainkan dengan apa yang kita sebut sebagai counterpoint[3], yaitu secara singkat adalah teknik komposisi yang berfokus ke dalam relasi antara dua melodi atau lebih. Saya dulu pernah mencoba membayangkan musik di sorga sewaktu saya masih kecil (harap maklum pemikiran ini didasari konsep sorga anak-anak). Saya pikir, musik di sorga pastilah musik yang sempurna, maka pasti bukan musik dunia yang adalah melodi + iringan (harmoni).
Contoh lagu dengan melodi dan iringan
Mungkin, pikir saya, musik sorgawi adalah semuanya melodi, tapi semuanya berharmoni bersama-sama. Tidak ada iringan yang lebih “rendah” atau lebih “membosankan” dari melodi: semuanya melodi, sama rata, tapi juga saling melengkapi. Puji Tuhan, saya terbukti salah sehingga tidak perlu menunggu langit dan bumi yang baru untuk menikmati musik seperti demikian. Inilah musik counterpoint, bukan melodi yang diiringi oleh nada-nada yang subordinate terhadap melodi tersebut, tapi beberapa melodi yang saling berharmoni!
Contoh lagu dengan prinsip counterpoint
Musik harmoni pada umumnya digubah langsung dari mula sampai akhir, melodi dan harmoni digubah bersamaan. Musik counterpoint tidak demikian; musik jenis ini biasanya berasal dari satu melodi terlebih dahulu, yang disebut dengan cantus firmus, lalu kemudian ditambahkan melodi-melodi yang lainnya yang materi melodinya mengambil dari cantus firmus tersebut. Seperti yang bisa dilihat di gambar di atas, melodi sopran dan alto mengambil materinya dari melodi tenor, yang dalam kasus ini merupakan cantus firmus. Dietrich Bonhoeffer pernah menjelaskan prinsip kasih menggunakan konsep musik ini. Kasih kita kepada Kristus dianalogikan sebagai cantus firmus, dan kasih kita terhadap sesama manusia adalah melodi-melodi yang lain, yang dibentuk berdasarkan pola cantus firmus tersebut.
Sewaktu saya membahas jenis musik ini di Melbourne, reaksi dari pemuda-pemudi yang mendengarkan musik ini pada umumnya memberikan respon yang sangat kagum dan merasa musik sejenis ini begitu indah, begitu kaya, begitu sempurna. Tapi apakah musik sejenis ini boleh kita pakai di dalam ibadah (arti luas dan arti sempit) kita? “Tentu saja. Musik ini begitu tinggi dan baik,” kata mereka. Tetapi apa meaning yang kalian dapat dari kata-kata lagu-lagu tersebut? Penulisan lagu Kyrie Eleison (Lord, have mercy) dan Gloria in Excelsis Deo (Glory to God in the highest) misalnya, karena mempunyai cantus firmus yang sama tidak terdengar terlalu berbeda, sehingga meskipun musik-musik ini terdengar begitu indah dan kaya, kita tidak begitu jelas meaning dari lagu ini, apakah sedang meminta ampun atau sedang memuji keagungan Tuhan. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Musik Renaissance adalah musik yang boleh dibilang dikonstruksi secara form over function. Pada zaman tersebut terobosan-terobosan musik dalam teknik komposisi lebih memprioritaskan struktur dan konstruksi, dan belum (bukannya tidak sama sekali) memperhatikan ekspresi dan arti. Musik Renaissance bukannya berubah dari mementingkan ekspresi lalu turun derajat sehingga hanya ingin mementingkan musik. Namun apakah kita boleh memakai ini di ibadah? Tentu saja, karena kemuliaan Tuhan tidak dibatasi oleh bahasa manusia! Kalau seandainya kita hanya boleh memakai seni yang keindahannya hanya bisa dimengerti secara linguistis, maka kita tidak boleh lagi memakai gedung gereja, tidak boleh lagi menikmati alam, tidak boleh lagi bersyukur kita masih bisa bernapas, dan lain lain.
Seringkali pola berpikir manusia yang sempit mengakibatkan banyak orang menilai baik tidaknya musik hanya dari teksnya, apakah Alkitabiah atau tidak, sementara musiknya sendiri adalah netral. Rick Warren dalam bukunya “Purpose Driven Church” juga melakukan kesalahan yang sama. Di buku itu ia mengatakan, “There is no Christian music, there are only Christian lyrics.”[4] Tapi siapakah kita sehingga kita berani mengatakan bahwa prinsip Firman Tuhan tidak ada di dalam keteraturan alam semesta, di dalam konstruksi tubuh manusia, dan juga dalam musik instrumental, meskipun hal-hal demikian tidak secara eksplisit membawa firman Tuhan? Bukankah keteraturan pun adalah prinsip Alkitab? Prinsip komposisi cantus firmus dan counterpoint, misalnya, jelas menggunakan prinsip Alkitab: unity in diversity. Setiap suara begitu diverse dan distinct, namun mereka bersatu dan saling melengkapi dengan begitu indah. Sama seperti 66 kitab dalam Alkitab: semua begitu unik dan punya purpose yang berlainan, namun tidak ada satu hal yang berkontradiksi di dalamnya. Kita bukan modernis, yang mengatakan persatuan sebagai uniformity: semua harus sama persis. Kita juga bukan postmodernis yang anarkis dan kacau balau. Kita adalah tubuh Kristus, masing-masing unik dan berbeda, tapi bersatu untuk mengerjakan satu hal bersama-sama, yaitu kehendak Sang Kepala.
Konsep dasar konstruksi inilah yang seringkali dilewatkan oleh banyak orang. Jelas kita tidak akan menggunakan musik yang liriknya tidak Alkitabiah, tapi seperti suatu buku tidak boleh dinilai dari covernya saja, demikian musik juga tidak boleh hanya dinilai dari segi fenomenanya. Dalam hal ini musik Renaissance yang memuji Tuhan sangat boleh digunakan dalam ibadah, tetapi jemaat harus dipersiapkan dan dididik untuk mengerti musik-musik tersebut.
Zaman Baroque (c.1600-1750)
Pada akhir zaman Renaissance beberapa musikus mulai mendiskusikan kondisi musik Renaissance yang, seperti kita sudah bahas, punya suatu form dan struktur yang sangat kompleks dan tinggi namun dirasa sangat kurang dalam hal ekspresi. Musik Renaissance yang pada awalnya bertujuan untuk melahirkan kembali kejayaan musik dari zaman Greco-Roman mulai dirasa tidak menghasilkan efek yang sama. Konon Iskandar Agung pernah melompat keluar dari tempat tidurnya, kemudian mengenakan pakaian perang dan menyandang pedang, karena mengira musuh datang menyerang ketika ia mendengar musik Yunani Kuno.
Komponis zaman transisi ini lalu mulai mencoba untuk mengaplikasikan ekspresi dalam musik. Mereka ingin membuat suatu musik baru, yang prioritasnya adalah untuk mengekspresikan suatu afeksi tertentu. Claudio Monteverdi menamakan gerakan ini sebagai The Second Practice, yaitu tidak lagi teks dianggap sekunder terhadap musik, tapi justru sekarang melodi, harmoni, dan ritme harus mengikuti teks,[5] mengikuti ide dari Plato.[6] Dalam musik chorale zaman Renaissance musik digubah terlebih dahulu, dan teks dimasukkan kemudian. Dalam zaman Baroque, musik digubah mengikuti teks. Afeksi dari teks tersebut menentukan sifat musiknya, misalnya jika teksnya menceritakan kegembiraan, musiknya menggunakan tangga nada mayor, dan jika menceritakan kesedihan, menggunakan tangga nada minor. Bukan hanya demikian, setiap nada, ritme, chord yang digunakan benar-benar dipilih untuk menyatakan arti dari teks (atau konteks, dalam musik instrumental) yang dipakai.
Dalam periode transisi seperti ini biasanya ada dua kemungkinan besar yang terjadi; yang pertama, aliran yang baru adalah hasil buah pemikiran aliran yang lama dan merupakan langkah progres; yang kedua, aliran yang baru mendobrak secara kasar dan menghancurkan total school of thought yang lama. Ada suatu miskonsepsi di dunia kalangan musikus yang mengganggap semangat gerakan Baroque yang mementingkan ekspresi telah menghancurkan semangat gerakan Renaissance yang pada dasarnya lebih mementingkan konstruksi daripada ekspresi. Namun kalaupun seandainya Renaissance adalah form over function, musik Baroque bukanlah function over form. Komponis zaman Baroque memang mengarahkan musik ke arah ekspresi dan sungguh memprioritaskan meaning, tetapi mereka tidak menolak inti musik Renaissance dan justru menggunakan pengetahuan dan teori-teori tentang komposisi musik seperti counterpoint, tonalitas, voice-leading yang sudah begitu advanced dari zaman Renaissance. Hal ini membuat transisi Renaissance-Baroque sangat berbeda dengan Romantic-Modern yang begitu kasar dan pada akhirnya boleh dibilang menghancurkan sistem komposisi yang sudah bertahan ratusan tahun. Transisi Renaissance-Baroque lebih bersifat improvement.[7]
Berikutnya kita akan melihat bagaimana musik Baroque berbeda dari musik Renaissance. Saya akan mengambil sedikit contoh dari Oratorio Messiah yang digubah oleh Handel, yaitu bagian yang menceritakan saat-saat akhir Kristus di atas kayu salib.
Dalam birama 4/4, ada suatu ordo natural yang kita sebut dengan strong-beat dan weak-beat. Misalnya, dalam 4 ketuk tersebut yang terasa kuat adalah ketukan 1 dan 3, sedangkan ketukan 2 dan 4 lebih lemah. Hal yang mirip juga terdapat dalam speech, dalam suatu kata ada suku kata yang kuat, ada yang lemah. Misalnya kalau kita mengatakan “Ibu”, suku kata “bu” lebih kuat daripada suku kata “i” bukan? Musik Baroque dalam menentukan ritme dan penempatan teks sangat memperhatikan hal yang sekecil ini. Dalam contoh di atas kita melihat teks “Thy rebuke hath broken His heart”. Kalau saya menulis teks ini dengan huruf besar sebagai suku kata yang kuat dan huruf kecil sebagai yang lemah sesuai dengan cara pengucapan bahasa Inggris yang tepat akan tertulis seperti ini :
“thy re-BUKE, hath BRO-ken his HEART”
Kalau kita kembali ke contoh musik di atas, Handel dengan tepat menempatkan suku kata yang kuat di ketukan yang kuat, yaitu ketukan 1 dan 3.
Dari segi melodi, arah dan besarnya perubahan nada juga sangat ditentukan oleh teks. Di birama pertama kalimat “Thy rebuke”, suku kata “Thy” dan “re-“ memakai nada yang sama, namun suku kata “-buke” mengambil not yang lebih tinggi, efek yang dihasilkan membuat suku kata “-buke” lebih kuat daripada kalau sama tinggi. Word-painting kata “broken” mengambil not yang satu oktaf lebih rendah dari “rebuke” sehingga menghasilkan suatu kontras yang dengan sederhana namun jelas mengungkapkan arti kata-kata tersebut, rebuke yang berarti memukul dinyanyikan dengan tinggi, dan broken yang berarti hancur, dinyanyikan dengan rendah.
Secara harmoni, chord pada ketukan pertama adalah chord As mayor, tetapi langsung berubah menjadi chord G diminish 7 tepat pada suku kata “-buke” dan akhirnya menjadi F minor di kata “heart”. Dalam ilmu chord harmoni kita mengenal ada 4 jenis chord dasar yaitu mayor, minor, augmented, dan diminish. Kita sudah mengetahui mayor terdengar lebih bebas dan ceria, dan minor terdengar lebih sedih. Chord diminish adalah chord yang lebih sempit dan lebih sedih daripada minor, dan augmented adalah chord yang terdengar lebih lepas daripada chord mayor.
Kita bisa melihat Handel dengan tepat memilih perubahan dari ceria (mayor) ke kesusahan (diminish 7) untuk menggambarkan kalimat “Thy rebuke”, dan memberi chord minor yang sedih untuk mengatributkan afeksi kesedihan tersebut ke kata “heart”. Ini baru pembahasan 2 bar pertama dari suatu lagu yang panjangnya 18 bar, dan lagu itu hanya satu dari 51 nomor lagu dalam oratorio Messiah. Dari contoh ini kita bisa melihat bagaimana Handel benar-benar menentukan melodi, harmoni, dan ritme dari afeksi teks yang hendak diekspresikan. Memang musik Baroquetidak semuanya bentuknya padat seperti ini, tapi konsep dasarnya adalah sama, yaitu afeksi teks menentukan musik yang digubah.
Untuk saya pribadi, musik Baroque adalah musik yang paling tepat untuk digunakan di dalam ibadah. Kalau musik Renaissance adalah musik yang tinggi namun lebih sulit untuk dimengerti, maka musik Baroque adalah musik yang tinggi juga karena mengambil dasar konstruksinya dari musik Renaissance, tetapi jauh lebih mudah dimengerti karena menggunakan teknik itu untuk mengekspresikan meaning. Siapa di antara Saudara-saudara yang sudah mendengar lagu Hallelujah dari Oratorio Messiah dan tidak langsung mengerti meaning yang hendak disampaikan?
Musik ini mempunyai suatu prinsip Alkitab yang kita dapat dari teladan Kristus: Transenden dan Inkarnasional. Allah kita adalah Allah yang Mahasuci, Mahakuasa. Tapi Ia juga adalah Allah yang berinkarnasi, turun ke bumi menjadi sama dengan ciptaan tanpa kehilangan transendensi-Nya. Seringkali gereja-gereja zaman sekarang berusaha menjangkau keluar dengan cara menurunkan derajat tubuh Kristus: karena pemuda zaman sekarang suka musik yang tidak bermutu maka atas nama penjangkauan musik-musik demikian dijadikan musik ibadah. Apakah demikian teladan dari Kepala Jemaat? Kristus menjangkau keluar, Ia bahkan mau turun ke dunia dan mati di atas kayu salib. Namun Kristus tidak ikut turun ke tingkat manusia berdosa. Ia justru mengangkat manusia berdosa keluar dari kebinasaan. Musik yang agung, yang tinggi, namun juga adalah musik yang mendidik, itulah musik yang seharusnya kita cari dan pakai untuk kemuliaan Tuhan. Soli Deo Gloria.
Jethro Rachmadi
_____________________________________________________________________________
[1] Numeral = berdasarkan angka, Aural = berdasarkan persepsi pendengaran.
[2] Konsonans berarti interval yang stabil, disonans adalah interval yang kurang stabil. Dalam musik biasanya disonans beresolusi menjadi konsonans, misalnya
Progresi ini akan terdengar bergerak dari yang tidak stabil ke posisi yang lebih stabil.
[3] Counterpoint tidak terlepas dari prinsip harmoni, namun boleh dimengerti sebagai teknik komposisi yang lebih terfokus ke dalam hubungan linear (secara kronos) daripada hubungan vertikal (secara kairos). Metode komposisi karya seperti ini, khususnya pada awalnya, lebih mengandalkan hubungan numeral antar melodi dibanding teknik komposisi harmoni yang lebih memakai segi aural.
[4] Rick Warren, Purpose Driven Church, 281-82
[5] “It has been my intention to make the words the mistress of the harmony, not its servant”, Claudio Monteverdi, Fifth Book of Madrigals.
[6] Plato dalam teks dialognya “Republic” mengatakan melodi terdiri dari teks, ritme, dan harmoni, dan bahwa harmoni dan ritme harus mengikuti teks, bukan sebaliknya.
[7] Monteverdi, misalnya, tidak menyebut gerakan yang baru sebagai “The New Practice” atau “The True Practice” tapi “The Second Practice” sebab mengambil prinsip dari “The First Practice” yaitu musik Renaissance.
No comments:
Post a Comment