Excerpted from www.bulletinpillar.org
By Vik. Jethro Rachmadi, B.Mus., M.Th.
Di dalam seminar-seminar musik dalam Gerakan Reformed yang pernah saya ikuti ataupun yang saya pimpin, ada satu pertanyaan yang sepertinya hampir pasti ditanyakan: “Kenapa dalam kebaktian, GRII tidak memakai drum[1]?” Pada awalnya saya biasanya menjawab dengan menerangkan struktur di balik penggunaan drum atau latar belakang sejarahnya yang pada akhirnya dikonklusikan sebagai tidak cocok dengan nilai-nilai Biblikal. Namun akhir-akhir ini kalau saya ditanya demikian, saya biasanya bertanya balik: “Menurut Anda, kenapa dalam kebaktian boleh memakai drum?” Boleh tidaknya memakai suatu jenis instrumen atau gaya musik tertentu di dalam suatu kebaktian tidak seharusnya dilakukan hanya karena belum menemukan alasan negatif; penggunaan segala sesuatu untuk memuliakan Tuhan harusnya didasari pada alasan yang positif. Dengan kata lain, mungkin seharusnya kita berusaha untuk bukan hanya puas dalam taraf “why not”, tetapi juga harus secara aktif memikirkan “why yes”.
Sebelum kita melanjutkan, ada baiknya dilakukan sedikit klarifikasi terlebih dahulu. Sekilas, artikel ini sepertinya adalah satu lagi di antara banyak artikel yang ditujukan untuk menyerang keluar atau berbau Reformed vs. Karismatik Radikal, tetapi isu yang saya hendak angkat adalah sebaliknya: saya ingin mengadakan suatu kritik internal. Izinkan saya menanyakan pertanyaan kedua bagi mereka yang berada dalam komunitas GRII: Kalau kita berani untuk mempertanyakan saudara-saudara kita di gereja lain mengapa mereka memakai musik-musik demikian, bukankah seharusnya kita juga berani bertanya kembali pada diri kita mengapa hari ini di GRII kita menggunakan musik hymn dan klasik?[2] Bisakah kita memformulasikan jawaban “why yes” dan bukan hanya “why not”?
Kembali sebentar ke masalah drum di atas, ketika saya berbincang-bincang dengan orang-orang yang pro-drum, saya menemukan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang hatinya jujur ingin memuliakan Tuhan, namun ada satu kategori lain di mana mereka secara umum terkumpul: mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan drum simplykarena mereka tidak pernah mengerti bahwa ada alternatif lain. Mereka mungkin belum pernah mendengar timpani, atau sudah pernah mendengar tapi belum dibukakan keindahannya. Mereka mungkin pernah mendengar Bach dan Isaac Watts, namun mungkin pada akhirnya tenggelam dalam kebingungan karena tidak mengerti bagaimana menghargai musik-musik seperti itu. Intinya, sebagian besar dari mereka mungkin memilih drum bukan karena mereka memilih, tapi karena mereka tidak punya pilihan.
Tapi kembali ke konteks kita yang berada dalam Gerakan Reformed hari ini, pertanyaannya adalah sebenarnya di manakah letak perbedaan kita dengan mereka? Bagi Saudara-saudara yang menyanyikan lagu hymn setiap minggu, bolehkah saya bertanya mengapa Saudara menyanyikan lagu tersebut? Bagi Saudara-saudara yang datang ke Aula Simfonia Jakarta, sebenarnya apa yang menggerakkan Anda untuk hadir? Menempatkan pertanyaan ini dalam konteks Gerakan kita yang notabene semangatnya adalah untuk kembali kepada Alkitab, apakah cara menggunakan musik dalam gereja kita yang Saudara selama ini berbagian mempunyai dasar Alkitabnya? Ataukah jangan-jangan, saya dan Saudara-saudara juga adalah orang-orang yang tidak mempunyai pilihan?
Seorang penginjil GRII pernah ditanya pertanyaan di atas, dan jawabannya mengungkapkan suatu alasan yang sepertinya lumayan sentral dalam paradigma Gerakan Reformed: “Kalau Saudara bekerja di dalam suatu perusahaan, otomatis Saudara tidak bisa membuat aturan sendiri. Saudara harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh pihak yang berada di atas, otoritas yang berwenang. Kalau pun Saudara adalah bos dari suatu kantor cabang perusahaan tersebut, Saudara tetap terikat dengan aturan-aturan dari kantor pusat. Demikianlah kita di GRII, kita mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong.”
Argumentasi di atas adalah suatu argumentasi yang logis, dan argumentasi demikian cukup efektif ketika dipakai dalam konteks yang tepat, misalnya ketika menghadapi jemaat yang memang hendak ngeyel dan sebenarnya juga bukan hendak mencari kebenaran. Tetapi bagi mereka yang dapat duduk tenang ketika membicarakan musik dan rindu untuk mendapatkan kebenaran, sepertinya ada dorongan untuk mencari suatu dasar yang lebih kokoh daripada sekadar jawaban di atas. Jangan salah sangka, mengikuti suatu figur otoritas bukanlah hal yang salah. Konsep pemuridan Alkitab jelas menuntut ketaatan pada otoritas yang Tuhan telah tetapkan dalam gereja-Nya, khususnya bagi mereka yang masih dalam takaran iman yang muda. Tetapi seiring dengan pertumbuhan iman dan pengetahuan, akan datang hari-hari saat sang anak disapih, saat ia mulai berhenti disuapi oleh ibunya, saat ia mulai berganti dari susu ke makanan keras, saat ia meninggalkan rumah ayahnya untuk berdiri sendiri, dan akhirnya saat ia menjadi ayah bagi seorang anak. Saat itu ia mungkin masih dapat bertanya kepada ayahnya, meminta nasehat, tapi tidak diragukan lagi bahwa saatnya akan datang ketika ayahnya tidak lagi dapat membantu dia. Dan ketika saat itu tiba, sang anak sudah harus menemukan sendiri bagi dirinya apa itu kebenaran.
Klarifikasi lagi, yang saya maksudkan bukanlah bahwa Pak Tong salah dalam menetapkan aturan mengenai pemakaian musik dalam GRII. Saya sendiri secara pribadi percaya Pak Tong pasti sudah terlebih dahulu menggumulkan hal ini dan pasti mempunyai alasan mengapa tradisi yang ia pegang ini bisa dinilai sebagai Alkitabiah. Yang saya hendak teriakkan pada kesempatan kali ini adalah bahwa kita perlu bertumbuh dan menemukan bagi diri kita sendiri dasar kebenaran Firman Tuhan dalam penggunaan musik kita. Kita mungkin mempunyai konklusi yang tepat, tetapi apakah kita sudah memiliki argumentasi di balik jawaban tersebut? Kita mungkin sudah berada di jalan yang benar, tetapi bagaimana kita hendak menuntun generasi selanjutnya ke dalam jalan yang sama jikalau kita tidak tahu bagaimana menemukan jalan tersebut? Hari ini Tuhan masih menempatkan figur besar itu untuk menuntun kita, tapi tidak diragukan lagi bahwa keadaan ini tidak akan berlangsung selamanya. Adalah hal yang sangat menyedihkan melihat anak berumur 30 tahun yang tidak bisa mengancingkan bajunya sendiri kehilangan mamanya yang selama ini merawat dia. Saat ini, GRII sudah berdiri lebih dari 21 tahun dan jika Anda bertanya kepada jemaat pertanyaan yang saya ajukan, apakah menurut Anda mereka sudah mengerti dasar kebenaran Firman Tuhan di balik tradisi musik yang selama ini mereka pegang?