Tuesday, September 19, 2017

Dogmatisme dalam Musik - Vik. Jethro Rachmadi

Excerpted from www.bulletinpillar.org
By Vik. Jethro Rachmadi, B.Mus., M.Th.
Di dalam seminar-seminar musik dalam Gerakan Reformed yang pernah saya ikuti ataupun yang saya pimpin, ada satu pertanyaan yang sepertinya hampir pasti ditanyakan: “Kenapa dalam kebaktian, GRII tidak memakai drum[1]?” Pada awalnya saya biasanya menjawab dengan menerangkan struktur di balik penggunaan drum atau latar belakang sejarahnya yang pada akhirnya dikonklusikan sebagai tidak cocok dengan nilai-nilai Biblikal. Namun akhir-akhir ini kalau saya ditanya demikian, saya biasanya bertanya balik: “Menurut Anda, kenapa dalam kebaktian boleh memakai drum?” Boleh tidaknya memakai suatu jenis instrumen atau gaya musik tertentu di dalam suatu kebaktian tidak seharusnya dilakukan hanya karena belum menemukan alasan negatif; penggunaan segala sesuatu untuk memuliakan Tuhan harusnya didasari pada alasan yang positif. Dengan kata lain, mungkin seharusnya kita berusaha untuk bukan hanya puas dalam taraf “why not”, tetapi juga harus secara aktif memikirkan “why yes”.
Sebelum kita melanjutkan, ada baiknya dilakukan sedikit klarifikasi terlebih dahulu. Sekilas, artikel ini sepertinya adalah satu lagi di antara banyak artikel yang ditujukan untuk menyerang keluar atau berbau Reformed vs. Karismatik Radikal, tetapi isu yang saya hendak angkat adalah sebaliknya: saya ingin mengadakan suatu kritik internal. Izinkan saya menanyakan pertanyaan kedua bagi mereka yang berada dalam komunitas GRII: Kalau kita berani untuk mempertanyakan saudara-saudara kita di gereja lain mengapa mereka memakai musik-musik demikian, bukankah seharusnya kita juga berani bertanya kembali pada diri kita mengapa hari ini di GRII kita menggunakan musik hymn dan klasik?[2] Bisakah kita memformulasikan jawaban “why yes” dan bukan hanya “why not”?
Kembali sebentar ke masalah drum di atas, ketika saya berbincang-bincang dengan orang-orang yang pro-drum, saya menemukan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang hatinya jujur ingin memuliakan Tuhan, namun ada satu kategori lain di mana mereka secara umum terkumpul: mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan drum simplykarena mereka tidak pernah mengerti bahwa ada alternatif lain. Mereka mungkin belum pernah mendengar timpani, atau sudah pernah mendengar tapi belum dibukakan keindahannya. Mereka mungkin pernah mendengar Bach dan Isaac Watts, namun mungkin pada akhirnya tenggelam dalam kebingungan karena tidak mengerti bagaimana menghargai musik-musik seperti itu. Intinya, sebagian besar dari mereka mungkin memilih drum bukan karena mereka memilih, tapi karena mereka tidak punya pilihan.
Tapi kembali ke konteks kita yang berada dalam Gerakan Reformed hari ini, pertanyaannya adalah sebenarnya di manakah letak perbedaan kita dengan mereka? Bagi Saudara-saudara yang menyanyikan lagu hymn setiap minggu, bolehkah saya bertanya mengapa Saudara menyanyikan lagu tersebut? Bagi Saudara-saudara yang datang ke Aula Simfonia Jakarta, sebenarnya apa yang menggerakkan Anda untuk hadir? Menempatkan pertanyaan ini dalam konteks Gerakan kita yang notabene semangatnya adalah untuk kembali kepada Alkitab, apakah cara menggunakan musik dalam gereja kita yang Saudara selama ini berbagian mempunyai dasar Alkitabnya? Ataukah jangan-jangan, saya dan Saudara-saudara juga adalah orang-orang yang tidak mempunyai pilihan?
Seorang penginjil GRII pernah ditanya pertanyaan di atas, dan jawabannya mengungkapkan suatu alasan yang sepertinya lumayan sentral dalam paradigma Gerakan Reformed: “Kalau Saudara bekerja di dalam suatu perusahaan, otomatis Saudara tidak bisa membuat aturan sendiri. Saudara harus mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh pihak yang berada di atas, otoritas yang berwenang. Kalau pun Saudara adalah bos dari suatu kantor cabang perusahaan tersebut, Saudara tetap terikat dengan aturan-aturan dari kantor pusat. Demikianlah kita di GRII, kita mengikuti apa yang sudah ditetapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong.”
Argumentasi di atas adalah suatu argumentasi yang logis, dan argumentasi demikian cukup efektif ketika dipakai dalam konteks yang tepat, misalnya ketika menghadapi jemaat yang memang hendak ngeyel dan sebenarnya juga bukan hendak mencari kebenaran. Tetapi bagi mereka yang dapat duduk tenang ketika membicarakan musik dan rindu untuk mendapatkan kebenaran, sepertinya ada dorongan untuk mencari suatu dasar yang lebih kokoh daripada sekadar jawaban di atas. Jangan salah sangka, mengikuti suatu figur otoritas bukanlah hal yang salah. Konsep pemuridan Alkitab jelas menuntut ketaatan pada otoritas yang Tuhan telah tetapkan dalam gereja-Nya, khususnya bagi mereka yang masih dalam takaran iman yang muda. Tetapi seiring dengan pertumbuhan iman dan pengetahuan, akan datang hari-hari saat sang anak disapih, saat ia mulai berhenti disuapi oleh ibunya, saat ia mulai berganti dari susu ke makanan keras, saat ia meninggalkan rumah ayahnya untuk berdiri sendiri, dan akhirnya saat ia menjadi ayah bagi seorang anak. Saat itu ia mungkin masih dapat bertanya kepada ayahnya, meminta nasehat, tapi tidak diragukan lagi bahwa saatnya akan datang ketika ayahnya tidak lagi dapat membantu dia. Dan ketika saat itu tiba, sang anak sudah harus menemukan sendiri bagi dirinya apa itu kebenaran.
Klarifikasi lagi, yang saya maksudkan bukanlah bahwa Pak Tong salah dalam menetapkan aturan mengenai pemakaian musik dalam GRII. Saya sendiri secara pribadi percaya Pak Tong pasti sudah terlebih dahulu menggumulkan hal ini dan pasti mempunyai alasan mengapa tradisi yang ia pegang ini bisa dinilai sebagai Alkitabiah. Yang saya hendak teriakkan pada kesempatan kali ini adalah bahwa kita perlu bertumbuh dan menemukan bagi diri kita sendiri dasar kebenaran Firman Tuhan dalam penggunaan musik kita. Kita mungkin mempunyai konklusi yang tepat, tetapi apakah kita sudah memiliki argumentasi di balik jawaban tersebut? Kita mungkin sudah berada di jalan yang benar, tetapi bagaimana kita hendak menuntun generasi selanjutnya ke dalam jalan yang sama jikalau kita tidak tahu bagaimana menemukan jalan tersebut? Hari ini Tuhan masih menempatkan figur besar itu untuk menuntun kita, tapi tidak diragukan lagi bahwa keadaan ini tidak akan berlangsung selamanya. Adalah hal yang sangat menyedihkan melihat anak berumur 30 tahun yang tidak bisa mengancingkan bajunya sendiri kehilangan mamanya yang selama ini merawat dia. Saat ini, GRII sudah berdiri lebih dari 21 tahun dan jika Anda bertanya kepada jemaat pertanyaan yang saya ajukan, apakah menurut Anda mereka sudah mengerti dasar kebenaran Firman Tuhan di balik tradisi musik yang selama ini mereka pegang?

Musik dan Perkembangannya (Part 3)

Dalam artikel bagian terakhir ini kita akan melanjutkan pembahasan kita dengan zaman Romantik yang merupakan suatu respons terhadap Gerakan Klasikal.
Zaman Romantik (c.1810-1920)
Poussin - Funeral of Phocion
Lukisan di atas adalah karya Nicolas Poussin, salah satu pelukis pada zaman High Baroque yang idenya sangat dipengaruhi oleh gerakan Klasikal. Ini adalah suatu lukisan klasik tulen, subject matter-nya adalah penguburan seorang pahlawan Yunani dan gaya arsitektur yang digambarkan adalah gaya arsitektur Roma. Dalam lukisan ini Poussin menggambarkan dunia menurut kaum rasionalis: dunia yang teratur dan indah, sebuah surga kaum Klasik. Kematian tetap ada, tapi tidak digambarkan sebagai sesuatu yang mengerikan (meskipun tidak juga dengan pengharapan). Air digambarkan begitu tenang, pohon-pohon tidak tertiup angin. Segala sesuatu terlihat jelas dan pada tempatnya. Misteri, horor, dan emosi tidak mempunyai tempat di sini.
Friedrich - The Wanderer Above The Sea of Fog
Lukisan yang kedua adalah hasil karya Caspar David Friedrich, seorang pelukis Romantik. Yang langsung membedakan kedua lukisan ini adalah unsur misterinya. Pemandangan di lukisan Poussin tidak terhalang sama sekali, tapi dalam lukisan Friedrich kabut yang tebal justru menjadi isi lukisannya. Friedrich tidak melukiskan pemandangan yang jelas, dan justru ”ketidakjelasan” itulah yang menjadi topik lukisannya. Yang digambarkannya bukan predictability, namun unpredictability. Si Pengembara berdiri dengan pose yang kurang stabil, rambutnya tertiup angin. Di hadapannya terbentang jurang yang tidak terlihat dasarnya, di ujung horison ada puncak-puncak gunung yang lebih tinggi dari tempat ia berada. Dalam lukisan ini, rasio tidak lagi memegang kendali. Gerakan Romantik adalah suatu respons terhadap Gerakan Klasikal: menolak rasio sebagai satu-satunya otoritas dalam segala sesuatu. Emosi, perasaan, misteri telah menantang posisi rasio. Bahkan usaha untuk mendefinisikan istilah Romanticism pasti akan berakibat reduksional sebab gerakan ini adalah gerakan yang pada intinya menolak definisi, menolak kekakuan sistem dan struktur. Ada suatu perkataan dari zaman Romantik yang mengatakan, “Heard melodies are sweet, but unheard ones are even sweeter.”[1]
Pada awalnya dampak dari semangat ini dalam musik hanya berakibat eksperimentasi dari pihak komponis; ekspresi hal-hal yang misterius dan di luar logika tidak bisa lagi hanya terpaku dalam sistem yang sudah eksis. Maka ilmu harmoni dan sistem tangga nada yang menjadi warisan zaman-zaman sebelumnya dilebarkan ke dalam area-area yang sebelumnya tidak digunakan. Kromatisasi[2], misalnya, dulu digunakan hanya sebagai suplemen, namun musik Romantik menggunakan kromatisasi bukan sebagai bumbu tapi sebagai lauk-pauk. Secara harmoni, musik Romantik juga menggunakan chord progression yang bersifat kromatik yang menyebabkan efek ambiguitas tonal; yaitu suatu lagu yang tidak terlalu jelas berada di tangga nada apa.

Musik dan Perkembangannya (Part 2)

Dalam edisi yang lalu kita sudah membahas dua zaman besar yang memulai perkembangan musik Eropa, yaitu zaman Renaissance dan Baroque. Jika kita hendak menganalogikan musik dengan bahasa, musik Renaissance dapat diungkapkan sebagai building blocks suatu bahasa, yaitu gramatikanya, struktur kalimatnya, dan juga kosakatanya. Lalu musik Baroque adalah suatu cerita atau prosa yang digubah dengan memakai bahasa tersebut. Kalau yang pertama adalah means of expression, maka yang kedua adalah expression of meaning. Dalam artikel bagian kedua ini kita akan melanjutkan pembahasan kita dengan dua zaman besar berikutnya yaitu zaman Klasikal[1] dan zaman Romantik.
Zaman Klasikal (c.1750-1810)
Musik dalam periode ini dilatarbelakangi oleh semangat zaman yang sangat terkenal: Age of Enlightenment, yaitu gerakan yang menempatkan rasio sebagai otoritas tertinggi dalam menentukan segala sesuatu. Kita akan melihat bagaimana semangat ini mempengaruhi perkembangan musik, tapi sebelumnya kita harus melihat lebih dalam ide di balik Rasionalisme. Satu abad sebelumnya, Eropa sedang memasuki masa klimaks Humanisme. Kalau pada zaman Renaissance, pemikiran Yunani Kuno dijadikan acuan untuk berbagai ilmu, pada abad 16 dan 17 Eropa telah melahirkan orang-orang yang menemukan pemikiran dan ide orisinal, khususnya dalam bidang sains. Contoh yang mudah adalah Isaac Newton dengan rumusan gravitasi dan kalkulusnya. Perkembangan ini adalah pengaruh dari kekristenan dalam ilmu pengetahuan. Dalam periode tersebut, meskipun tidak semua orang Eropa adalah orang percaya, Alkitab diterima secara universal sebagai kebenaran. Christopher Marlowe, pembuat drama Dr. Faustus[2], dalam akhir kisahnya, ketika Faust dilempar ke neraka ia berkata demikian, “Lihat, lihatlah darah Kristus itu, satu tetes saja akan menyelamatkan jiwaku, bahkan setengah tetes, oh Tuhanku.” Marlowe, seperti tokoh Faust, adalah seorang unbeliever sampai pada akhir hidupnya namun ia mengetahui (paling tidak secara kognitif) darimana keselamatan berasal.
Pengaruh kekristenan seperti inilah yang membedakan abad ke-17 dengan zaman Yunani Klasik yang menganggap mitologi Yunani sebagai sejarah, bukan sebagai cerita belaka. Implikasi kepercayaan akan dewa-dewa yang personifikasinya adalah fenomena-fenomena alam mengakibatkan ilmu pengetahuan tidak berkembang. Petir, misalnya, adalah suatu kuasa alam yang diasosiasikan dengan Zeus, dewa tertinggi mereka. Laut merupakan kediaman Neptune, Matahari merupakan kendaraan Apollo. Bayangkan kalau ada yang mengusulkan bahwa petir bukanlah sesuatu yang supernatural melainkan hanya proses alamiah yang lumrah; Socrates bukan hanya dihukum mati karena dituduh merusak kaum muda di kota Athena, ia juga dituduh mempunyai konsep religius yang mendobrak mitologi Yunani. Namun pada abad ke-17 Alkitablah yang diterima sebagai sejarah, sama seperti mitologi Yunani pada zaman Yunani Kuno. Dan Kitab Kejadian mengajarkan bahwa segala sesuatu adalah ciptaan, bukan bagian dari Sang Pencipta itu sendiri. Maka petir boleh dipelajari, laut boleh ditelaah. Tanpa pengaruh kekristenan, sains tidak akan berkembang.

Musik dan Perkembangannya (Part 1)

Excerpted from www.bulletinpillar.org
By Vik. Jethro Rachmadi, B.Mus., M.Th.
Sebenarnya artikel ini mungkin lebih tepat diberi judul “Introduksi mengenai Musik Dunia Barat dan Perkembangannya,” sebab tema sejarah musik adalah tema yang terlalu luas. Namun lewat artikel ini saya berharap dapat memberikan sedikit insight terhadap semangat zaman, konsep-konsep, serta filsafat yang mendasari perkembangan musik Eropa dalam lima zaman yang besar. Di edisi ini kita akan membahas zaman Renaissance dan Baroque, dan di edisi berikutnya kita akan melihat zaman Klasik, Romantik, dan Modern. Adalah doa saya agar kita sebagai pemuda-pemudi Kristen di zaman yang rusak ini tidak tertidur, tidak sembarangan menerima ataupun menolak segala ilmu, tapi boleh sungguh menghidupi Firman Tuhan seperti tertulis di 1 Tesalonika 5:22: “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.”
Zaman Renaissance (c.1300-1600)
Seperti semua periode kultural yang lainnya, pembatasan tahun periode Renaissance bersifat tidak mutlak—suatu zaman terlalu kompleks dan rumit untuk dapat dibatasi dalam hitungan tahun. Kata renaissance berarti rebirth—diatributkan untuk periode ini oleh seorang sejarawan Perancis abad ke-19, Jules Michelet. Gerakan Renaissancebernama demikian karena gerakan ini melahirkan kembali ide-ide dan pemikiran-pemikiran dari zaman Greco-Romanyang sudah begitu lama hilang dari Eropa, misalnya pemikiran dari filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, atau ahli retorika seperti Cicero atau juga Quintillianus yang tersimpan di dalam banyak teks Latin kuno di perpustakaan Ordo Monastik di Eropa, juga dari teks Latin yang diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain.
Semangat zaman ini adalah apa yang sekarang disebut Humanisme, meskipun pada zaman tersebut filsafat di balik semangat itu tidak harus diartikan sebagai semangat untuk menjadikan manusia sebagai pusat segala sesuatu dan “menurunkan” Tuhan. Memang semangat gerakan ini akhirnya melahirkan Aufklärung yang jelas melawan Alkitab, tapi pada awalnya semangat Humanisme lebih dekat dan sangat dipengaruhi oleh Kekristenan. Manusia bukan lagi makhluk yang kotor dan rusak belaka (seperti yang diajarkan gereja yang tidak bertanggung jawab pada zaman Dark Ages), tapi juga adalah manusia yang mempunyai dignity sebagai peta dan teladan Allah. Sayangnya keseimbangan ini tidak bertahan lama dan akhirnya terjeblos ke dignity tanpa humility, yaitu Humanisme modern. Istilah humanis sendiri dalam zaman Renaissance dimengerti sebagai orang yang mendalami suatu sistem kurikulum edukasi dalam bidang-bidang yang sudah ada sejak zaman Medieval, seperti Dialektika, Gramatika, Retorika, dan juga Musik, tapi dipelajari dalam pengertian yang digali dari apa yang disebut primary source—dalam hal ini pemikiran para filsuf Greco-Roman. Gerakan Reformasi yang terjadi di periode pertengahan-akhir zaman Renaissance sedikit banyak mendapatkan pengaruh dari pemikiran Humanisme. Martin Luther, misalnya, mendapatkan sistem edukasi humanis. Namun Luther kemudian menjadikan Alkitab sebagai primary source—lahirlah back to the Bible.
Seni suatu zaman merupakan cermin semangat zaman tersebut, sebab budaya suatu zaman tertuang dari semangatnya. Misalnya, kebangkitan retorika klasik mempunyai efek yang merambat ke dalam literatur, puisi juga drama yang mengikuti bentuk retorika klasik. Kebangkitan prinsip simetri dan proporsi dari zaman Greco-Romantercermin di dalam arsitektur Renaissance.
Roman Architecture – Temple of Vesta               
Renaissance Architecture – Tempietto San Pietro of Montorio
Donato Bramante, seorang arsitek Renaissance, membangun suatu Tempietto (semacam bangunan kecil untuk memorial para martir) di gereja San Pietro di Montorio yang mengambil konsep arsitektur dari zaman Roma, Temple of Vesta. Konsep simetri dan proporsi juga mempengaruhi lukisan-lukisan Renaissance: para pelukis menggambarkan struktur dan proporsi manusia dengan lebih akurat; kisah yang sudah sering diketahui adalah bagaimana Michelangelo sampai meneliti mayat manusia untuk dapat mengerti anatomi manusia secara tepat sehingga lukisannya mempunyai akurasi yang sangat tepat. Bagaimana dengan musik?
Kita akan membandingkan konsep dasar tentang musik ini dari pemikiran masa kini dengan zaman Renaissance. Pengertian tentang musik pada zaman Renaissance adalah pengertian yang didefinisikan melalui hubungan numeral, bukan aural seperti pada zaman ini.[1] Sebagai contoh kita akan melihat interval.

Friday, September 15, 2017

Anger and a Double Victory - Vik. Jethro Rachmadi

 “You have heard that it was said, ‘You shall love your neighbor and hate your enemy.’ But I tell you this: Love your enemies, and pray for those who persecute you.In this way you show that you are children of your Father in heaven. He makes his sun rise on people whether they are good or evil. He lets rain fall on them whether they are just or unjust".
- Matthew 5:43-45
Jesus' command to love our enemies could be considered idealist and simply impractical. And yet by saying so, Jesus has become a practical realist. And how do we accomplish such a difficult command? We must first analyze ourselves: why we hate, what causes our anger, then we would better love our enemies and pray for those who persecute us.

Christ Cleansing the Temple, by Carl Heinrich Bloch, 1875


Let us now pay our attention to anger. Anger is commonly perceived as a vice, that we think an angry man does not love and a man who holds his anger does not hate. Yet, this statement is only somewhat true, in a way that anger does lead to the disintegration of wisdom and community. In Proverbs 14:29, it is said that "Whoever is slow to anger has great understanding, but he who has a hasty temper exalts folly". In anger, we become delusional of what is right and wrong as it distorts our perception. Our sense of objectivity blurs and we despise logic as our actions are driven emotionally. After the conflict cools down, we then recall the folly things we have said in anger. Not only does anger disintegrate our wisdom at present, but it also causes future recurrences of folly decisions (addictive stigma). Proverbs 19:19 states that, "a man of great wrath will pay the penalty, for if you deliver him, you will only have to do it again". This is because, among all negative emotions, anger is an emotion that is most closely related to denial. It is easy for us to admit our sadness, disappointment or worry, yet not anger. Thus, having the stigma of a grumpy man is worse than any other stigmas.

Other than wisdom disintegration, the gospel says in Proverbs 15:18 that anger leads to communal disintegration, "A hot-tempered man stirs up strife, but he who is slow to anger quiets contention". But another disintegration that anger causes is the disintegration of anything that threats what we love. This is why the absence of anger in a community only shows the danger of that very community, for the lack of necessary anger means the lack of love towards the community we ought to protect.


Furthermore, When the Old Testament uses the word patient, the true word in Ancient Hebrew is arek aph, which translates to slow to anger, as opposed to patientAlthough arek means slow and aph means anger, the term arek aph is not two terms merged into one like the word pineapple (pine and apple). Hence, it is often translated merely as patientAn example would be in Proverbs 16:32 that says, "Whoever is slow to anger is better than the mighty, and he who rules his spirit than he who takes a city". Thus, the Bible never idealizes patience, the absence of anger or an explosive anger, but slowness to anger. Here is an intricacy that we are often indifferent towards, that it is a sin according to the Bible to express anger explosively, yet it is, too, a sin according to the Bible to never be angry. According to the book of Proverbs, a wise man is slow to anger, which is resounded in Ephesians 4:26, "Be angry and do not sin; do not let the sun go down on your anger". This is wisdom: go ahead and be angry, but do not sin. Thus, anger is not equal to sin and prolonged anger brought upon sin. In other words, the problem is the duration of being angry, and not the anger itself. John Chrysostom says that "He who is not angry, whereas he has cause to be, sins. But he who is not angry where he has cause to be, sins. For unreasonable patience is the hotbed of many vices, it fosters negligence, and incites not only the wicked but the good to do wrong".


So why does the Bible uses arek aph as opposed to patience? Because arek aph is God's own attribute, as written in Exodus 34:6, "The LORD passed before him and proclaimed, “The LORD, the LORD, a God merciful and gracious, slow to anger, and abounding in steadfast love and faithfulness". Therefore, the glory of our God is not in His absence of anger, but in His slowness in anger. Arek aph is the good anger because we often create a false dichotomy between love and anger as if a loving man is never angry and an angry man does not love, a statement we might not agree conceptually, we live daily. Betty Pippert says, "But love detests what destroys the beloved. Real love stands against the deception, the lie, the sin that destroys. Nearly a century ago the theologian E.H. Glifford wrote: 'Human love here offers a true analogy: the more a father loves his son, the more he hates in him the drunkard, the liar, the traitor.' The fact is that anger and love are inseparably bound in human experience. And if I, a flawed and sinful woman, can feel this much pain and anger over someone’s condition, how much more a morally perfect God who made them? If God were not angry over how we are destroying ourselves, then He wouldn’t be good and He certainly wouldn’t be loving. Anger isn’t the opposite of love. Hate is, and the final form of hate is indifference". We now understand that true love always contains anger. Therefore, the Bible views anger in its purest form to be an expression of love that acts to protect the beloved against its threat. This is the last disintegration that anger brings: the disintegration of the threat that threatens the beloved. Our problem today is that we tend to disintegrate what needs not to be disintegrated. Anger, before the fall of man, in its purest form, is an expression of love. In this sense, anger is very useful to understand oneself. Think of the circumstance which arises your anger the most and asks the question, "what threat are you trying to protect your beloved against? And what is your most beloved?" This is true not only in the personal sense but also social. Why do we find the society's action towards injustice pleasing? We often encounter injustice and attempt to flee, but the true danger is encountering injustice without arising and protesting in anger. Thus, we could simply analyze the political perception of a community simply through understanding what angers them, and in understanding what angers them, we could finally understand what their most valuable thing is. And in this case, the absence of anger in a community is very threatening for it is a sign of an exceeding comfort.


We could understand our God the same way. Jesus' anger towards the Pharisees and the merchants who conduct transactions in the temple could only mean that He was simply attempting to protect His beloved against a threat. The object of His anger is not the Pharisees and the merchants, but the threats that they cause towards His beloved, His people, the church. And this threat is always more important than to whom the anger is directed to. In the old testament, we see that God often punishes an individual instantly, as if He is not a God who is slow to anger (See 1 Samuel 2:12-36, 2 Samuel 6:1-6, Jeremiah 28:12-17). We could say that these are very rare recurrences. If there is a mistake that God has done (if any!) it would be that He is too slow to anger. For instance, He prolonged His damnation towards Canaan and in Psalm, we often read words like 'How long, O, LORD until you condemn my enemies?' and not 'Why do You haste to condemn my enemies, O, LORD?" The first thing we can understand from this is that God rarely condemns so instantly like the verses in bold above. The second thing is that if these events are so rare, we could discover a similarity among these events, that is only one: these are sins that offend the Holy Temple (the church). It is also written that "Do you not know that you are God's temple and that God's Spirit dwells in you?" (1 Corinthians 3:16). So those sins were punished so instantly because those sins greatly threat the church. And because we could analyze God's anger the same way we analyze ours, we may then ask "what did He attempt to protect that He punished so instantly?" The answer is the temple, the LORD's church. Understanding this, we could easily guess what is at the top of God's ordo amoris. That is you and I, His temple, His beloved. This also answers why He demands greatly from us, that is because of His greater love towards us.


Today, we understand anger in two cultures: the western and the eastern. In the west, anger should never be contained and in the east, anger is always badness and angry people are bad. The Bible is neither both cultures. The Bible always views both the fallenness and the goodness of anger. CS Lewis, in his illustration, states that “there is something which unites magic and applied science (technology) while separating them from the "wisdom" of earlier ages".  The question people nowadays ask is "how do I unite or connect nature with my will"? The answer is technic, either technology or magic. The Biblical wisdom according to Bruce Waltke is 'inter-relation / in tune with reality'. We then must ask the question, "what is reality"? A reality in the Bible could only mean two things: the fallenness and goodness of creation. Those who claim that good people are never angry and vice versa are people who are reductive to the reality of fallen creation. While those who claim that anger must be expressed by venting and physical expressions and avoid anger repression are reductive to the reality of good creation (without the fallen creation perspective). The Bible does not view anger in either perspective, but both, hence the term 'in tune with reality'. This means that wisdom is not merely a skill that you must obtain to face the intersections of life. Understanding this, we can conclude that the problem of anger is anger is not the anger itself, but the problem of anger is how we express it.



Monday, September 4, 2017

So I Graduated

This is the end.

Or not so as people believe: graduation is the beginning of a new era, a new life. But, what can I say? When something ends, something else begins, emerges, continues on. No one on earth really stops living, don't we? Our deeds go on and on through generations. And so when we leave a place or stop a task, that task is a part of us now and the memory of us is ever remembered.

Not only have I graduated from the Ohio State University, but I have also learned about life and its purpose. Is this a claim too bold to be written by a bachelor graduate? I should ask instead, is the most brilliant man alive not too bold to claim the same? Knowledge and science, they both are wonderful things, if not, I wouldn't have gone to a University and pursue a degree in science. But my point is that knowledge and all its wonders could never fully answer the questions of life's purpose because like us, this world is a creation. A creation that could only wonder in awe, understand a little and reflect the beauty of our Creator. Thus, through the 5 years of science drill, I have known and loved my God better.

"I had heard of you by the hearing of the ear, but now my eye sees you". 
-Job 42:5

I have, too, graduated from overcoming my fears and admitting my vulnerability. I have graduated from sinking the bitter medicine in as well as from taking leaps of faith. What else could it be if it was not for the grace that was given to me that I was to fight against self-righteousness, pride, greed and jealousy. For I was drowned in a pool of tears when He raised and taught me to walk again as a new born babe.


"For by grace you have been saved through faith. And this is not your own doing; it is the gift of God, not a result of works, so that no one may boast" 
-Ephesians 2:8-9


Here's to a new beginning.

I have to confess that the idea of leaping into the "real world" terrifies me. But here's what I lay my hope upon: I have just arrived at chapter one of the most exciting story. A story which the proceeding chapter tells a more exciting story than the one before. To the people I left, know with all your hearts that as an elephant, I never forget. And to the people who I am yet to meet, you are about to become a part of my story, and my story in yours. There must be a reason of why our lives collide and perhaps part. God has everything in His master plan.
Enough with games and make-believe now. It's about time to take off into the realm of mystery.

I will not go gentle into the dark night!

Alice