Wednesday, October 11, 2017

Mengenal Keindahan Tradisi Musik Sakral Kristen - Vik. Jethro Rachmadi

Marilah kita memulai dengan kesederhanaan dalam musik. Lagu hymn, yaitu According to Thy Gracious Word yang dikarang oleh James Montgomery, adalah sebuah lagu hymn yang dinyanyikan selama Perjamuan Kudus. Hymn dan liriknya adalah sebagai berikut:





Untuk menganalisa sebuah musik, pertama-tama kita harus mencari adanya pengulangan dalam musik tersebut.
Dalam hymn yang sedang kita bahas saat ini, kata remember (ingat) diulang pada akhir dari setiap bait, namun di dalam kondisi yang berbeda-beda: I will remember Thee (aku akan mengingat Engkau), and thus remember Thee (maka saat ini, aku akan mengingat Engkau), I must remember Thee (saya seharusnya mengingat-Mu), Will I remember Thee (aku akan tetap mengingat-Mu), dan akhirnya, Jesus, remember me (Yesus, ingatlah aku).

Sesuai dengan setiap kondisi dan lirik yang tercermin pada setiap baitnya secara keseluruhan, bait pertama lebih sesuai untuk dinyanyikan sebelum Perjamuan Kudus dan bait kedua dinyanyikan selama Perjamuan Kudus.
Sementara itu, pada bait ke 3 dan 4 dapat kita nyanyikan sehari-hari, dan bait ke 5 juga memberikan nuansa tentang suatu kelangsungan hidup sampai pada kematian.
Dan akhirnya, pada bait ke 6 menyatakan adanya kehidupan setelah kematian (akhirat).
Bahkan hymn yang sederhana ini pun dapat mengekspresikan secara keseluruhan perjalanan hidup seseorang.
Oleh karena itu, lagu hymn yang tradisional seringkali terdiri dari banyak bait (dapat terdiri dari 12 bait bahkan lebih), sebab mereka tidak hanya menekankan waktu yang saat ini saja dan pada keberadaan diri sendiri, dimana akar dosa adalah karena adanya pemusatan pada diri sendiri (self-center).
Sebuah lagu hymn dengan banyak bait dapat mengajak kita untuk keluar dari diri kita dan mengajak kita untuk melihat Sesuatu yang bukan kita. 
Hymn ini diakhiri dengan kalimat Jesus, remember me (Yesus, ingatlah saya), yang mengingatkan kita akan pertanyaan: Seberapa seringkah kita berdoa dan memohon kepada Allah untuk mengingat kita? Bukankah hal ini tidak terlalu sering kita lakukan?

Mengenai musik sakral tradisional, orang seringkali bertanya mengapa harus menggunakan musik yang kuno? Pada masa lalu, Allah bekerja dengan banyak cara dan melalui beberapa hal yang kita tidak sadari.
Beberapa orang juga menyatakan bahwa musik adalah masalah pilihan dan selera. Tetapi, orang yang mengidap diabet memiliki kecenderungan yang besar untuk menyukai coklat. Bukankah orang-orang seperti ini dapat dikatakan sebagai orang yang tidak bebas, melainkan dikendalikan
—bahkan dibunuh—oleh selera mereka sendiri.
Kita selalu berpikir bahwa jika sesuatu itu bersifat subyektif, maka tidak dapat sekaligus bersifat obyektif. Namun, musik dapat bersifat subyektif dan sekaligus memiliki obyektifitasnya. Memang benar bahwa ada kalanya orang mendengarkan musik yang sama, tetapi memiliki persepsi yang berbeda terhadap musik tersebut. Contohnya, apa yang saudara pikirkan ketika saudara mendengarkan nada seperti ini?:





Jika seandainya ada lima puluh orang di dalam ruangan ini, dapat dipastikan akan ada lima puluh perbedaan pandangan.
Nada seperti ini mendahului tentara yang akan maju berperang, atau suatu pawai yang mengiringi kedatangan raja, atau suatu nada kemenangan, dll.
Tetapi saya percaya bahwa tidak ada seorangpun yang memiliki persepsi, bahwa nada semacam itu menyatakan suatu kesedihan atau ratapan.
Tanpa obyektifitas di dalam musik, maka akan sulit untuk membuat musik dalam dunia perfilman. Karena, tujuan utama musik dalam perfilman, memiliki arti dan pesan yang khusus bagi adegan tersebut. Suatu adegan dengan background musik yang berbeda, dapat memberikan dua persepsi yang jauh berbeda pula, di mana perbedaan itu mengatur kategori dari suatu film.
Contohnya:



Sekarang mungkin saudara akan berargumentasi bahwa komposer seperti Bach cocok bagi orang Eropa, namun tidak cocok untuk orang India, Cina, dan terlebih tidak cocok untuk orang Indonesia.
Tetapi statement tersebut telah terbukti tidak benar, karena karya Bach yang berjudul Air on G-String, telah menjadi favorit bagi orang Arab dengan memberikan lirik Muslim.


Bach's Air "On the G-string" from his 3rd orchestral suite in D major, BWV 1068.

Jika demikian, mengapa kita perlu untuk mengapresiasi dan membicarakan musik? Jika kita berkeinginan untuk memberikan apreasi kepada musik, maka kita harus setuju bahwa ada satu jenis musik yang lebih tinggi daripada jenis musik yang lain. Jawaban dari hal ini adalah bahwa musik itu sangat memiliki kuasa/pengaruh, pengaruhnya sangat halus/tidak terasa. Yang saya maksudkan halus di sini, adalah bahwa pengaruhnya sangat tersembunyi/tidak nampak. Musik itu seperti garam, misal, ketika kita makan french fries tanpa garam, kita akan komplain tentang tidak adanya garam. Tetapi ketika kita makan french fries dengan garam, kita tidak akan memuji garamnya.
Akan sangat aneh jika kita mengatakan, "Alangkah lezatnya garam ini!", sebaliknya, akan lebih masuk akal, jika kita mengatakan, "Alangkah lezatnya french fries ini!"
Kita tidak pernah menyadari tentang keberadaan garam, walaupun hal tersebut sangat memberikan pengaruh. 
Inilah sebabnya, kita harus mengapresiasi dan membicarakan musik. 
Kita sadari atau tidak, musik memberikan pengaruh terhadap pandangan dan perspektif kita terhadap segala sesuatu.

Understanding the Beauty of Sacred Christian Music Tradition - Vik. Jethro Rachmadi

Let us first begin with simplicity. The hymn According to Thy Gracious Word by James Montgomery is a hymn commonly sung during a Holy Communion. The hymn is as followed:



In analyzing a piece of music, we must first look for any repetitions in the music. In this case, the word remember is being repeated at the end of each verse, yet in different tenses: I will remember Thee, and thus remember Thee, I must remember Thee, Will I remember Thee, and finally Jesus, remember me.
According to these tenses and the lyrics of each verse as a whole, verse 1 is most likely to be sung before the Holy Communion and verse 2 during the Holy Communion. While stanzas 3 and 4 could be sung in our daily lives and verse 5 too has a sense of continuity even until death, and finally, verse 6 speaks of the afterlife.
Such a simple hymn could express the journey of one's entire life. This is why traditional hymns often consist of multiple verses (about12 verses or more), because they focus not at the present time and one's self-ness, for the root of all sins is self-centeredness. A hymn with many verses may engage us to pass ourselves and to see what Is beyond ourselves. The end of the hymn says Jesus, remember me, reminds us of the question: how many times do we pray and ask God to remember us? Very infrequently.

Speaking of traditional sacred music, people usually ask why use old music? In the past, God worked in many ways and through many things that we are unaware of. Some people may also claim that music is a matter of preference and taste. But diabetic people do have a greater tendency to love chocolate. Are those people not free people, because they are drivenand murderedby their own taste? We love to think that if a matter is subjective, it could not then be objective. However, music is both subjective and objective. It is true that many ears listening to the same music will result in many perceptions. For example, what do you think of when you listen to this tune?:


If there are fifty people in this room, there surely is a possibility of us having fifty different perspectives: this tune is preparing the troops for battle, the procession of a king, a tune of victory, the list goes on. But I am certain that nobody would perceive the tune as a sad and lamenting tune. Without objectivity in music, there would not be any music filmography/music in films. Because the main intention of musical compositions in films is to deliver a specific message or meaning to a particular scene. A scene with two different music could result in two drastic perceptions, which difference also dictates the genre of the film. For example:


Now you might argue that a composer like Bach is suitable for Europeans, but not for Indians, Chinese, and definitely not for Indonesians. But this has been proven to be a false statement because even Arabians use  Bach's Air, one of the most famous Bach's compositions to sing Muslim lyrics.

Bach's Air "On the G-string" from his 3rd orchestral suite in D major, BWV 1068.

Why then do we need to appreciate and talk about music? If we are willing to appreciate music, then we must agree that there is greater music then the other. The answer to this question is that music is powerful, yet subtle. What I mean by subtle is that it possesses a hidden influence. Music is like salt. When we eat fries without salt, we would complain about the absence of salt. But when we eat fries with salt, we would not praise the salt either. It would be odd for us to say, "how delicious the salt is!",  instead, it would make a lot more sense to say, "the fries taste great!" We are never aware of the salt's presence, yet it has a great influence. This is why we ought to talk about music and to appreciate it. Music affects our worldview and our perspective about all things with or without our knowledge.